Narasi

Santri dan Duta Damai di Dunia Maya

Peringatan Hari Santri Nasionan (HSN) yang jatuh pada tanggal 22 Oktober bukanlah sebuah pepesan kosong. Ada banyak nilai yang dapat direfleksikan dengan kondisi saat ini, sebuah kondisi yang menuntut peran aktif kelompok keagamaan seperti santri guna membangun bangsa dan negara Indonesia menuju keadaban dan kemajuan.

Memasuki era millennial, santri dituntut tidak sekedar bisa mengaji kitab suci, melainkan juga harus mampu mengkaji dan menjawab tantangan masa kini. Diantara tantangan santri di era melesatnya jumlah pengguna internet adalah menjadi duta damai di dunia maya.

Mengapa santri harus menjadi duta damai di dunia maya? Satu alas an kuatnya adalah, bahwa saat ini dunia maya sudah menjadi ajang untuk menebar kebencian. Konten-konten agitasi, fitnah, hoax, dan sejenisnya merebak.

Kondisi di atas menjadikan masyarakat kehilangan arah dan terbelah menjadi dua kutub yang saling berseberangan. Jelas! Kondisi ini pada puncaknya akan menyeret masyarakat Indonesia pada konflik yang mengarah pada kekerasan.

Kepala Subdit IT dan Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Himawan Bayu Aji, sebagaimana dikutip dari Kompas.com (26/03/2017) mengatakan, konten berisi ujaran kebencian merupakan jenis tindak pidana yang paling banyak diadukan masyarakat ke polisi. Pada 2015, jumlah laporan yang masuk berkaitan dengan ujaran kebencian sebanyak 671 laporan. Tahun 2016, jumlah laporan mengenai hal itu juga tinggi.

Beberapa Langkah Strategis

Bertolak pada kondisi yang mencengangkan sebagaimana digambarkan di atas, maka santri harus menempatkan diri sebagai duta damai di dunia maya. Hal ini sangat penting agar dunia maya tidak dipenuhi dengan konten-konten menyesatkan tetapi menjadi (dianggap) sebagai kebenaran. Sebagaimana yang dikatakan oleh Aktor Perang Dunia II, Adolf Hitler, bahwa kebenaran adalah kebohongan yang diulang-ulang berkali-kali.

Artinya, menyerbarluaskan berita bohong melalui media social sebanyak-banyaknya akan membuat opini bahwa berita tersebut adalah benar dan valid. Sekali lagi, dalam posisi inilah, peran santri diperlukan. Setidaknya melalui beberapa cara.

Pertama, menguatkan literasi masyarakat. Santri harus melek literasi. Jika sudah demikian, maka tanggung jawab selanjutnya adalah memberikan edukasi kepada masyarakat agar melek literasi juga. Literasi diperlukan agar tidak terjebak dalam kubangan kebohongan (hoax) yang dibungkus sedemikian rupa sehingga dapat mengelalui masyarakat.

Kedua, mengisi konten media social dengan hal positif. Internet positif, salah satu bentuknya adalah, menyebarkan karya-karya menyejukkan dan mencerahkan publik (pembaca). Hal ini juga sebagai langkah counter-hegemoni atas maraknya konten negatif.

Bayangkan, jika konten negatif lebih populer dan disukai masyarakat, bukan sesuatu yang mustahil apabila konten tersebut diaplikasikan dalam kehidupan dunia nyata. Tentu sebagai santri, ketika melihat kenyataan seperti ini, akan menangis. Bagaimana tidak. Masyarakat awam sudah termakan oleh oknmum tertentu sehingga masyarakat menjadi saling membenci.

Konten-konten yang menjun-jung perbedaan dan cara merawat perbedaan adalah salah satu dari sekian contoh konten yang harus dibumikan. Tak kalah pentingnya juga adalah membuat video-video pendek yang mengekspose keragaman dan perdamaian dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Ketiga, rumah damai. Di tengah kondisi yang pelik dan penuh kepentingan dangkal, santri sebagai bagian kelompok besar umat Islam harus mampu menjadi pelabuhan (rumah damai) bagi masyarakat yang telah tersesat karena mengkonsumsi konten negatif di dunia maya.

Tegas kata, momentum HSN 2017 ini menjadi bahan refleksi bahwa tantangan santri saat ini sungguh kompleks. Dalam konteks melesatnya arus informasi dan tekonologi, yang banyak disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk memuluskan hasrat busuknya, santri harus tampil sebagai sosok yang hebat dan kuat. Menjadi duta damai di dunia maya merupakan jihad zaman now bagi santri masa kini.

This post was last modified on 27 Oktober 2017 1:40 PM

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

4 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago