Narasi

Santri dan Tantangan Islam Moderat

Indonesia adalah cermin wajah Islam dunia. Meskipun Islam tidak muncul di Indonesia, tetapi jumlah populasi Muslim di negeri ini terbesar di dunia. Sehingga apa yang terjadi di Indonesia, secara sederhana, akan dianggap sebagai refleksi dan referensi bagaimana agama Islam dipahami dan dipraktekan oleh pengikutnya. Sayangnya, ada sebagian Muslim di Indonesia yang sikap dan perbuatannya sering menciderai prinsip-prinsip Islam. Lihatlah bagaiamana perilaku kekerasan dengan dalih agama kerap dijumpai di sekitar kita. Termasuk didalamnya ujaran kebencian yang diarahkan kepada pihak lain yang berbeda paham dan keyakinan. Beragam hal ini tentu membuat citra Islam sebagai agama yang ramah dan damai menjadi tercoreng. Oleh karena itu, perlu keterlibatan banyak pihak untuk mengatasinya. Dan salah satu elemen penting bangsa yang diharap memberi solusi atas masalah ini adalah kaum santri.

Santri adalah mereka yang secara khusus belajar agama di pesantren. Dan pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia. Meskipun keseharian mereka berkutat dalam hal agama, tetapi para santri tidak lantas abai dengan isu sosial-kemasyarakatan. Bahkan jika merujuk sejarah, kaum santri berkontribusi bagi lahirnya negara-bangsa Indonesia. Salah satu peristiwa penting ketika KH. Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada September 1945. Seruan tersebut ditujukan agar para santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI yang terancam akibat kehadiran sekutu. Perintah jihad tersebut langsung menggema dan disambut gegap gempita. Hingga akhirnya kaum santri dan elemen rakyat Indonesia lainnya berhasil mempertahankan kemerdekaan RI sekaligus mengusir penjajah yang ingin kembali mengeksploitasi nusantara. Atas peran aktif itulah, Presiden Jokowi akhirnya menetapkan setiap tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Penetapan Hari Santri tidak boleh dipahami sebagai seremoni saja, melainkan mengingatkan agar kaum santri dapat terus-menerus memberikan kontribusi positifnya  untuk bangsa ini.

Seperti disinggung di atas, salah satu masalah yang mendera masyarakat Indonesia kontemporer adalah maraknya kekerasan dengan jubah agama. Lihatlah bagaimana bom bunuh diri, teror kepada pihak lain, perusakan tempat ibadah, dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai orang yang beragama. Ini adalah bentuk “penjajahan” terhadap agama. Sebab agama ditundukan dan diarahkan untuk mengikuti keinginan jahat segelintir orang. Oleh sebab itu, mereka yang paham dengan agama harus berjihad untuk membebaskan agama dari telikungan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut. Selain hal tersebut, Martin van Bruinessen (2014: 28) menjelaskan bahwa sejak tahun 2005 terjadi conservative turn (kembali ke arah konservatif) yang dialami Muslim di Indonesia. Pandangan Muhammadiyah dan NU yang modernis dan liberal kian ditolak.  Conservative turn juga ditandai dengan keluarnya fatwa dari MUI yang menyatakan bahwa sekularisme, pluralisme, dan liberalisme bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen pun mengatakan Islam Indonesia tidak lagi menjadi Islam yang tersenyum. Dalam konteks ini, kaum santri kembali dituntut kontribusinya untuk mengatasi masalah ini.

Kaum santri, sebagai kelompok agama yang terdidik, harus menampilkan diri sebagai penyokong gagasan Islam moderat (wasathiyah). Yaitu Islam yang ramah terhadap kelompok lain dan seimbang dalam bersikap. Islam moderat tidak akan kaku saat membaca dan menginterpretasikan doktin agama. Tetapi Islam moderat juga tidak secara serampangan menafsirkan teks-teks agama. Jadi tidak terlalu kaku sekaligus tidak terlalu cair. Dalam pesantren, para santri sudah terbiasa mengkaji beragam pandangan dan pemikiran keagamaan. Kadang satu masalah dihukumi haram, kadang dihukumi sunah, kadang dihukumi mubah. Artinya perbedaan menjadi diskursus keseharian para santri dan disikapi dengan bijaksana. Pikiran para santri pun makin terbuka. Dia mampu mengayomi dan mengarahkan dan berada di tengah-tengah untuk menjembatani beragam kemungkinan pemahaman dan praktek agama yang berbeda. Tidak seperti sebagian kecil kaum Muslim saat ini yang baru mengetahui sedikit agama langsung mudah menyalahkan dan mengkafirkan kelompok lain. Sikap inilah yang bisa menumbuhkembangkan benih-benih penghormatan dan toleransi terhadap sesama.

Sebagai penutup, Islam moderat memang merupakan bentuk yang sangat ideal, akan tetapi tidak berarti utopis. Di tengah maraknya pembajakan agama oleh segelintir pihak, maka kita berharap kaum santri dapat terus mengkampanyekan Islam moderat sebagai tandingannya.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

17 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

17 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

17 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 hari ago