Narasi

Santri Sebagai Agen Deradikalisasi

Maraknya aksi-aksi kekerasan, teror, rasisme dan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama akhir-akhir ini, sempat membuat beberapa pihak mempertanyakan eksistensi santri dan sistem pendidikan pesantren. Bertanya dalam konteks ini tentu sesuatu yang logis. Mengingat santri adalah cikal bakal penerus estafet dakwah Nabi, dan pesantren adalah miniatur dari kaum muslimin. Pertanyaan kemudian adalah apakah mungkin santri mempunyai kontribusi dalam membedung radikalisasi? Kalau iya, bagaimana wujud konkritnya?

Sebelum menjawab dua pertanyaan serius itu, perlu kiranya melihat historisitas dari santri itu sendiri. Sejak awal, rekam jejak santri di bumi Nusantara ini tidak pernah bersifat anti atau antagonis terhadap Negara. Sejarah mencatat, santri adalah orang terdepan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Bila tidak berlebihan, hampir 50-60 persen dari para pejuang kemerdekaan pada abad ke sembilan belas berasal dari santri. Mulai dari Imam Bonjol, Tengku Umar, Cut Nyak Dien, di Sumatra, sampai Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo di Jawa berlatar belakang santri. Hal yang sama juga dilakukan oleh para santri pasca kemerdekaan, yang puncaknya adalah revolusi jihad yang dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Yang pada minggu ini diperingati sebagai hari santri.

Dengan historisitas seperti itu, maka dua pertanyaan di atas bukanlah sesuatu yang mustahil. Santri bisa berperan penting dan memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya deradikalisasi, sehingga keutuhan dan martabat NKRI masih tetap terjaga. Jika santri zaman doeloe bisa memberikan sumbangsih besar dalam mewujudkan kemerdekaan ini, maka santri zaman now tentu harus lebih bisa. Mengingat tantangan yang dihadapi oleh santri milenial sekarang, jauh lebih ringan dari pada santri zaman old.

Wujud konkrit yang dapat diberikan oleh santri terhadap upaya deradekalisasi bisa direalisasikan dalam beberapa dua bentuk utama, yaitu: pertama, menjauhi –kalau tidak bisa –setidaknya meminimalisir pembacaan yang tekstual. Bukan rahasia umum lagi, bahwa salah satu bibit adanya aksi-aksis teror dan semacamnya, berangkat dari interpretasi terhadap teks kitab suci yang literal, tekstual, apa adanya. Penafsiran seperti ini, akan membuat wajah agama menjadi kaku, rigid, kolot, dan tidak bisa berdialog dan berdialektik dengan zamannya. Tentu peran santri, yang setiap hari berkutat dengan teks-teks kitab, apabila menjauhi pemaknaan yang literal akan memunculkan wajah Islam yang progresif. Wajah santri yang progresif dengan sendirinya akan menghilangkan wajah radikal dari agama itu sendiri.

Kedua, santri harus menghindari penyampai ajaran agama yang terlalu menyederhanakan. Islam memang agama yang sederhana, tapi bukan agama yang disederhanakan. Sederhana dan disederhanakan dua hal yang sagat jauh berbeda. Penelitian terakhir menunjukkan –sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Nadirsyah Husen –sebab Islam radikal itu cepat berkembang dan diterima di masyarakat umum, salah satunya adalah mereka selalu menyederhanakan ajaran Islam itu. Tanpa memberikan pendapat yang berbeda dari ideologi mereka. Padahal dalam penafsiran terhadap agama itu mempunyai banyak ragam pendapat.  Orang yang tidak terbiasa dengan pendapat yang berbeda, akan lebih mudah berpotensi radikal.

Santri sebagai subjek yang bersentuhan langsung dengan sumber-sumber otoritatif, bisa memberikan counter terhadap pihak-pihak seperti di atas dengan cara memberikan ragam perbedaan, dan mengajari masyarkat bahwa  wajah Islam itu tidak monolitik dan terdapat keragaman di sana. Pembiasaan terhadap keberagaman dengan sendirinya akan memberikan efek positif terhadap wajah Islam yang saling menghargai satu dengan lainnya. Sehingga potensi untuk memaksakan pendapatnya terhadap orang lain bisa diminimalisir.

Kedua kunci ini harus disadari oleh para santri, karena sebagaimana sabda Nabi, ulama adalah pewaris Nabi. Santri tidak lain adalah cikal bakal dari ulama yang bertugas memberikan wejangan, nasihat, dan perlindungan terhadap masyarakat.

This post was last modified on 22 Oktober 2018 12:28 PM

Hamka Husein Hasibuan

Recent Posts

Menyelamatkan Demokrasi dari Tipu Daya Demagog dan Ashabul Fitnah

Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan…

2 jam ago

Tidak Ada Demokrasi yang Seharga Nyawa

Di pengujung Agustus 2025, demokrasi kita kembali menorehkan luka. Dua nama, Rheza Sendy Pratama di…

2 jam ago

Kembali Bersatu, Jaga Indonesia: Belajar dari Pedihnya Provokasi

Di tengah puing-puing dan reruntuhan bangunan pasca demo, ada gelombang besar semangat yang mempersatukan seluruh…

2 jam ago

Menjaga Kemurnian Simpati terhadap Korban dan Melindungi Martabat Demokrasi

Demonstrasi adalah hak konstitusional untuk menyuarakan aspirasi, tetapi tragedi yang menyertainya sering kali menorehkan luka…

1 hari ago

Memahami Pesan Kebangsaan Presiden Prabowo: Waspada Aksi Demonstrasi yang Mengarah pada Tindakan Makar dan Terorisme!

Belakangan ini, sejumlah aksi demonstrasi di Indonesia berubah menjadi ricuh. Apa yang semula dimaksudkan sebagai…

1 hari ago

Mujahid Demokrasi: Kisah Affan Kurniawan dan Seruan Solidaritas Tanpa Anarkisme

Hari Kamis, 28 Agustus 2025, seharusnya menjadi hari demonstrasi damai bagi rakyat untuk mengekspresikan kegelisahan…

1 hari ago