Categories: Kebangsaan

Saya Bangga Menjadi Warga Negara Indonesia

“Saya bahagia menjadi penduduk Indonesia. Saya merasa bangga menjadi warga negara Indonesia, karena saya bisa sekolah, anak-anak perempuan saya bisa sekolah di negara ini, sementara di di belahan negara lain, di Afrika anak-anak sekolah diculik oleh Boko Haram dan tidak kembali lagi. Saya bangga menjadi warga negara Indonesia. Di Indonesia ini, saya bisa bersekolah dengan aman. Waktu saya kecil, saya bisa sekolah naik angkot dengan tenang, sementara di Pakistan sana Malala ditembak ketika mau berangkat sekolah”. Demikian kata Yeni Wahid dalam salah satu sesi di sebuah acara di Jakarta siang tadi (1/9/2015).

Sikap bangga yang ditunjukkan oleh Yeni Wahid di atas harus dilihat sebagai sebuah kejujuran atas nikmat yang ia dan kita semua rasakan. Karena jika kita semua mau jujur, kita sangat beruntung menjadi bagian dari negara kesatuan bernama Indonesia ini. Di negeri yang begitu majemuk ini, perbedaan diperlakukan sebagai sebuah berkah yang senantiasa dirayakan, sehingga kita dapat terus hidup berdampingan di atas segala perbedaan.

Pengalaman pribadi yang dialami oleh Yeni tentu merupakan pengalaman harian yang kita semua rasakan. Di negeri ini kita dapat bersekolah tanpa khawatir akan ada konflik yang pecah. Di negeri ini pula perempuan mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki untuk dapat terus mengembangkan diri.

Namun kenyamanan-kenyamanan dan rasa damai tersebut saat ini mulai terganggu dengan adanya kelompok-kelompok yang tidak toleran. Mereka adalah kelompok yang tidak rela jika kita merangkul perbedaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Meski demikian, menurut Yeni musuh kita yang sebenarnya bukan kelompok-kelompok itu, karena mereka adalah saudara kita. Musuh kita yang sesungguhnya adalah rasa takut untuk melakukan perubahan, musuh kita adalah rasa apatis dan cuek terhadap tindakan intoleransi.

Mendiamkan tindakan intoleransi berarti bersetuju dengan intoleransi itu sendiri, karenanya diperlukan sikap tegas dari segenap elemen bangsa untuk memastikan bahwa kerukunan dan persaudaraan dapat terus dijaga. Kita semua percaya bahwa Indonesia bisa menjadi besar seperti sekarang karena penghargaan terhadap segala perbedaan. munculnya kelompok-kelompok intoleran yang semakin masif belakangan ini harus menjadi pemacu semangat untuk bersama-sama menjaga Indonesia.

Salah satu hal kecil yang dapat kita lakukan untuk setidaknya terhindar dari hasutan permusuhan yang kerap ditebar oleh kelompok-kelompok intoleran adalah dengan mulai selektif dalam menerima dan menyebarkan informasi. Terutama karena sesuatu yang kita anggap berita nyatanya tidak lebih dari sekedar tumpukan dusta. kelompok-kelompok ini menyasar berbagai media untuk terus mengumbar ajakan kebencian terhadap sesama.

Dunia maya yang kerap menjadi tumpuan kita dalam mencari informasi tidak jarang dijadikan ladang untuk menyebar berbagai tindak intoleran. Saat ini ada banyak sekali akun medsos atau website yang sangat sering digunakan untuk menebar hasutan kebencian. Isu SARA kerap dijadikan sebagai landasan dalam melancarkan ajakan-ajakan anti Indonesia. Kelompok-kelompok intoleran, yang sebenarnya adalah saudara kita ini, terlalu sibuk bermain api dengan selalu memamerkan sikap benci dan dengki terhadap NKRI.

Kita tentu tidak ingin Indonesia yang kita cintai dan banggakan ini hancur berantakan hanya akibat ulah sebagaian orang yang gagal untuk jujur pada dirinya sendiri, jujur bahwa mereka mendapatkan kenyamanan dan ketentraman sebagai warga Indonesia. Karenanya kita perlu untuk selalu memupuk dan menunjukkan sikap bangga terhadap Indonesia, karena di negeri ini kita lahir, dan di negeri ini pula kita akan terus berkarya sampai akhir.

Imam Malik

Adalah seorang akademisi dan aktifis untuk isu perdamaian dan dialog antara iman. ia mulai aktif melakukan kampanye perdamaian sejak tahun 2003, ketika ia masih menjadi mahasiswa di Center for Religious and Sross-cultural Studies, UGM. Ia juga pernah menjadi koordinator untuk south east Asia Youth Coordination di Thailand pada 2006 untuk isu new media and youth. ia sempat pula menjadi manajer untuk program perdamaian dan tekhnologi di Wahid Institute, Jakarta. saat ini ia adalah direktur untuk center for religious studies and nationalism di Surya University. ia melakukan penelitian dan kerjasama untuk menangkal terorisme bersama dengan BNPT.

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

16 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

18 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

18 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

18 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago