Masa-masa proses seleksi penerimaan mahasiswa baru di berbagai kampus di Indonesia sudah mulai mencapai tahapan akhir dan akan segera dimulai kegiatan perkuliahan baru. Terlepas dari persoalan bagaimana proses perkuliahan yang akan dihelat selama masa wabah ini, ada persoalan lain yang tidak boleh didiamkan mengapung bersama arus deras kesibukan mengatasi wabah. Persoalan itu adalah persoalan intoleransi dan radikalisme.
Berdasarkan penelusuran Noorhaidi Hasan, pintu masuk gerakan radikalisme di Indonesia itu adalah perguruan tinggi. Sejak tahun 1980-an banyak alumni Timur Tengah yang mendapatkan beasiswa dari Saudi (LPIA) pulang ke Indonesia. Awalnya kebanyakan dari mereka adalah kader Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), namun sekembalinya dari Timur Tengah mereka kemudian menandai kelahiran generasi Islam salafism baru di Indonesia. Mereka memang kader-kader DDII, tetapi bagaimanapun mereka berbeda dengan generasi DDII era sebelumnya. Kebanyakan mereka sudah memiliki komitmen untuk menyebarkan ajaran salfism.
Mereka para alumni Timur Tengah itu kemudian mengadakan halaqh-halaqah dan daurah-daurah di kampus-kampus di Indonesia, biasanya di masjid-masjid kampus. Di situ mereka menyebarkan paham keagamaan baru dan merekrut banyak mahasiswa untuk ikut dalam kelompok mereka. Dari situ kelompok mereka terus tumbuh, walaupun tentu saja mereka tidak satu wajah, ada yang tetap fokus pada keilmuan Islam salaf saja (salafi puris), ada yang fokus pada kegiatan Islam politik (salafi aktivis), dan ada juga yang fokus pada gerakan-gerakan radikal terorisme (salafi jihadi).
Terlepas dari tidak semua gerakan salafi tersebut bercorak radikal-teroris, karena ada juga yang golongan salafi puris, yang patut digarisbawahi di sini adalah pintu masuk dari gerakan ini adalah perguruan tinggi. Mereka melakukan pengkaderan dan mencari kader-kader baru di perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri yang umum, bukan PTKIN. Oleh karena itu, di moment, masa penerimaan mahasiswa baru seperti sekarang ini, sudah semestinya kewaspadaan itu diberlakukan. Jangan sampai sejarah kampus sebagai pintu masuk gerakan radikal di Indonesia itu terus berjalan dan kampus menjadi ladang subur pengkaderan mereka.
Semua pihak, terutama kampus dan negara harus turun tangan mengamankan mahasiswa dari virus-virus pemahaman radikal yang mungkin saja menjadikan para mahasiswa baru sebagai sasaran empuknya. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk melakukan pengawalan ini. Pertama, pemerintah perlu meminta perguruan-perguruan tinggi negeri memberlakukan tes potensi radikalisme bagi para mahasiswa baru. Bisa dengan penyebaran angket atau model tes papikopstik radikalisme yang biasanya dilakukan kementerian agama pada para calon ASN. Hasil dari tes tersebut nantinya dijadikan rujukan untuk memetakan tingkat potensi radikalisme masing-masing mahasiswa baru. Mereka yang terindikasi memiliki potensi tinggi untuk menjadi radikal harus dikawal ketat, terutama di masa-masa awal perkuliahan (dua semester pertama). Pengawalan ini bisa berupa kewajiban ikut serta dalam pendampingan keagamaan dan pastikan para pendampingnya ini berasal dari kalangan moderat. Pengawalan ini bisa juga dilakukan dengan kewajiban tinggal di asrama selama dua semester awal dan selama di asrama harus dilakukan penggemblengan penguatan karakter kebangsaan dan keagamaan yang moderat.
Kedua, berhubung wabah ini masih belum menunjukkan gejala melemah, maka hampir bisa dipastikan bahwa sistem perkuliahan yang akan berlangsung selama masa wabah ini adalah sistem perkuliahan daring. Model perkuliahan seperti ini tentu merupakan ladang subur bagi kalangan radikal untuk menyebar benih-benih pemahaman mereka. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, kalangan Islam radikal itu masih jauh lebih agresif daripada kalangan Islam moderat dalam menyebarkan ajaran mereka di dunia maya. Hampir setiap hari tagar-tagar berbau Islam radikal seperti #hijrahmenujukhilafah, #khilafahajaranislam, dst. selalu menjadi trending topic di twitter, terutama di pagi hari. Itu artinya, nafas dan semangat kalangan radikal di dunia maya, meskipun sebenarnya mereka minoritas di dunia nyata, adalah sangat luar biasa.
Keaktifan mereka di dunia maya ini tentu merupakan hal sangat perlu diwaspadai di tengah banyaknya mahasiswa yang saat ini belajar dengan model daring. Sangat besar kemungkinan, dalam proses pencarian bahan perkuliahan, terutama kuliah agama, mereka akan berjumpa dengan ajaran-ajaran Islam radikal yang memang tumbuh subur di dunia maya. Oleh karena itu, semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama, perguruan tinggi, dan kalangan moderat lainnya harus siap pasang badan untuk menyemarakkan jagat dunia maya Indonesia dengan ajaran-ajaran keagamaan yang moderat. Jangan sampai, mereka kalangan radikal memanfaatkan masa wabah ini sebagai ladang subur dan merekrut para mahasiswa baru untuk ikut gerakan mereka lewat jalur dunia maya. Sudah saatnya kalangan moderat yang mayoritas di Indonesia itu bersuara lantang di dunia maya, jangan hanya jadi mayoritas yang diam.
This post was last modified on 21 September 2020 1:45 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…