Hari ini tepatnya 71 tahun yang lalu kita harus buka lagi lembaran sejarah tentang bagaimana para santri berjihad untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh Kiai Hasyim pada saat itu membakar semangat para santri ikut serta mempertahankan kemerdekaan yang baru didapatkan oleh Bangsa Indonesia. Kontribusi santri dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia sudah tidak terbantahkan lagi. Kiai yang tugas pokoknya membina umat, terpanggil jiwanya ketika tanah air memanggil untuk turun berjuang melawan penjajah.
Kiai Hasyim dan kawan-kawan pada saat itu, sangat tepat dalam melihat tantangan yang dihadapinya, dan beliau bertanggung jawab penuh terhadap zamannya. Pembacaan yang tepat terhadap tantangan (realitas) hanya bisa dilakukan dengan pikiran yang tajam dan mendalam. Yang sekarang ini semakin langka untuk kita jumpai. Semenjak muncul kelompok-kelompok yang mengaku paling berhak atas surga, serta menasbihkan dirinya sebagai pembela Islam, sungguh kondisi yang sangat memprihatinkan serta membuat posisi Islam semakin krusial. Saat ini rasanya malu kita pada Kiai Hasyim dan ulama-ulama terdahulu yang begitu arif dan bijaksana.
Santri di Era Modern
Ada diktum menarik dalam tradisi santri, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan khazanah klasik yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dari diktum itu jelas, bahwa kontekstualisasi nilai-nilai Islam lewat perantara santri harus terus berkembang dan relevan. Bersumber dari khazanah klasik serta mengambil nilai modern yang lebih baik.
Diktum di atas amat terasa kalau kita ngaji di pesantren, kiai selalu segar dan memberi warna baru terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an maupun sumber-sumber lain. Ini membuktikan bahwa keilmuan dan komitmen kebangsaan kaum santri sangat kuat.
Dalam al-Qur’an juga disebutkan: falaula nafara min kulli firqatin minhum thaifatan liyatafaqqahu fid din waliyundiru qaumahum (Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya). (QS. 9:22).
Penjelasan ayat di atas adalah kata yatafaqqahu dalam keilmuan tata bahasa Arab termasuk fiil mudharig, zamannya sekarang dan mustakbal artinya cara belajar juga harus sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga mampu mengkontekstualisasikan nilai-nilai keislaman universal. Selain itu kata yundiri juga termasuk fiil mudharig, yang artinya dakwah juga harus dengan cara baik dan relevan pada zamannya. Dakwah santri harus bisa mengikuti zaman, sebagai bentuk responsibilitas santri terhadap modernisasi.
Setelah santri selesai menimba ilmunya, akan menghadapi tantangan yang cukup besar di era modern ini antara lain ekstrimisme dan radikalisme, yang mengatasnamakan Islam dan berdakwah secara keras. Hanya bermodal takbir mereka bisa saling mengkafirkan, saling membenci, saling merendahkan, merasa paling benar sendiri, yang lain salah. Ketika yang lain salah, dengan gampangnya mereka harus dilenyapkan. Kondisi di atas, sungguh Ironis dengan nilai Islam yang dicontohkan oleh kiai dan ulama kita.
Coba sejenak kita menyelami mutiara perjuangan Kiai Subchi atau yang dikenal dengan Kiai Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Beliau dikenal sebagai ulama yang dermawan. Ketika banyak masyarakat yang miskin dan kelaparan, beliau banyak memberikan hasil buminya kepada masyarakat. Bagi yang tidak punya lahan, dikasihlah lahan oleh beliau, untuk diolah dengan memanfaatkan kesuburan lereng gunung Sumbing-Sindoro. Inilah bukti nyata komitmen keumatan beliau dalam menjaga ketahanan pangan.
Contoh selanjutnya, masih seputar kiai Subchi Parakan. Dalam memoar kiai Saifuddin Zuhri “Berangkat dari Pesantren”, diterangkan bahwa Kiai Subchi dikenal sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu’
Kontribusi Nyata Santri Untuk Rakyat
Sebaik-baik orang adalah orang yang saling memberi manfaat terhadap sesama. Saya tertarik dengan gagasan “jalan tengah” yakni objektifikasi Islam yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo. Yakni mendaratkan Islam dalam bentuk prodak nyata. Sehingga semua orang bisa menikmatinya, tanpa label “Islam” sekalipun.
Sebagai contoh ada diktum dalam Islam, kebersihan sebagian dari iman, nah seharusnya kita mempelopori gerakan hari Minggu bersih, jadi setiap Minggu kita bersih-bersih kampung. Otomatis nilai kebersihan itu akan diterima oleh semua manusia. Seharusnya nilai seperti ini yang terus kita sebarkan, yaitu nilai kebaikan dan kesejukan untuk semua.
Jadi, keberpihakan santri dalam mengemban nilai keislaman nantinya jelas, yakni berpihak kepada nilai. Tentu nilai di sini bisa dirasakan manfaatnya oleh semua. Dengan seperti ini, saya yakin santri akan menjadi kekuatan dalam membangun peradaban bangsa yang par excellent (unggul). Inilah sejatinya Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam. wallahu a’lam
Selamat hari santri ! ! !
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…