Budaya

Waspada Lone Wolf Baru

Beberapa bulan yang lalu kita dikejutkan dengan kenekatan seorang anak remaja yang mencoba melakukan bom bunuh diri di Gereja di Medan. Ia adalah remaja dengan inisial IAH (18) yang terbukti melakukan aksi dengan sendiri atau dikenal dengan istilah lone wolf (serigala tunggal). Kejadian itu sangat disesalkan, bahkan orang tua pun tidak menyadari perubahan drastis sang anak ke arah pemikiran dan sikap radikal. IAH mengalami radikalisasi diri sendiri (self radicalization) melalui internet tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Baru-baru ini, kejadian serupa terjadi lagi. Seorang remaja inisial SA (22) berpendidikan mengejutkan polisi melalui aksi penyerangannya terhadap aparat kepolisian di Tanggerang. Meski sempat dilumpuhkan, remaja ini sempat melukai 3 anggota polisi.

Dua kasus tersebut semestinya harus mendapatkan perhatian lebih dari kekhawatiran munculnya lone wolf baru dalam fenomena terorisme di Indonesia. Dua remaja tersebut mengalami radikalisasi melalui dunia maya yang tak terhubung dalam jaringan besar yang sulit dideteksi. Dalam video yang tersebar, IAH jelas berbaiat kepada pemimpin ISIS. Begitu pula, SA dalam video yang tersebar di media sosial mengaku aksinya bagian dari kepatuhan terhadap pemimpin ISIS dan tidak ada perintah atas pelaksanaan aksinya. Memang, SA memiliki pengalaman dengan jaringan kelompok teroris bahkan dalam catatan aparat pernah berkunjung ke Lapas Nusakambangan menemui Aman Abdurrahman pada tahun 2015. Tetapi aksinya merupakan bagian dari aksi mandiri yang tidak terorganisir.

ISIS dan fenomena lone wolf seakan menjadi satu paket ancaman yang serius dalam tumbuhnya gaya baru terorisme di Indonesia. Sementara pemerintah sibuk mengkhawatirkan para returnees kombatan dari Irak-Suriah, di dalam negeri tumbuh teroris domestik (domestic terrorist atau homegrown terrorist) yang mengaladami radikalisasi melalui dunia maya. Banyak anak muda secara tidak sadar mengalami proses pendangkalan pemikiran keagamaan, tumpulnya kritisisme, proses indoktrinasi, dan mempelajari cara-cara aksi melalui interaksi di dunia maya.

Fenomena lone wolf lebih berbahaya karena sulitnya dideteksi dini untuk diantisipasi. Mereka sulit diidentifikasi berdasarkan jaringan karena tumbuh melalui simpati dan aksi. Siapapun berpotensi menjadi lone wolf khususnya mereka yang sudah tersusupi paham radikal dan kekerasan. Bukan sekedar aksinya yang ditakutkan dari fenomena lone wolf ini. Luka tusuk belum seberapa, tetapi tusukan paham dan ideologi kekerasan yang menyasar kelompok muda Indonesia itulah yang sangat dikhawatirkan.

Dari fenomena lone wolf ini ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, lone wolf tidak mengenal latarbelakang, profesi, pendidikan dan status keluarga. Siapapun berpotensi menjadi lone wolf dan mengalami proses radikalisasi diri sendiri akibat interaksi di dunia maya. AS pelaku penyerangan di Tanggerang bahkan lahir dari keluarga polisi.

Kedua, lone wolf mengedepankan kenekatan aksi dengan minim persiapan. Lone wolf dan teroris terorganisir sama-sama memiliki pemikiran radikal terorisme. Bedanya antara keduanya terletak pada aksinya. Lone wolf lebih banyak melakukan aksi dengan modal nekat asal aksi terlaksana. Pisau dapur dan senjata tajam pun sekarang menjadi trend. Berbeda dengan kelompok teroris yang terlatih semisal angkatan Afganistan yang dilengkapi dengan pelatihan militer dan perakitan bom. Lone wolf mengandalkan pelatihan dari internet dan mengandalkan senjata apa adanya seperti pisau, golok, badik dan senjata tajam lainnya asal tujuan bisa tercapai.

Ketiga, lone wolf adalah aksi mandiri tanpa jaringan dan tidak terhubung langsung dengan organisasi induk. Kasus serangan dari lone wolf ini sulit dijejaki keberadaannya dan sulit diprediksi kapan dan di mana aksinya dilakukan. Fenomena ini menuntut upaya deteksi dini dan antisipasi ekstra dari aparat intelijen.

Fenomena lone wolf yang terwakili dari dua kasus tersebut, tidak hanya jadi cambuk bagi para penegak hukum dan aparat intelijen. Sejatinya fenomena ini adalah cambuk bagi masyarakat terutama lingkungan keluarga. Keluarga semestinya meningkatkan kontrol, edukasi, konsultasi dan diskusi dengan buah hati terkait apapun yang mereka ketahui dari dunia maya.

Tidak ada cara ampuh dalam menekan munculnya lone wolf kecuali kita membuang apatisme kita terhadap perkembangan anak khususnya terkait penggunaan internet. Perhatian kita terhadap perkembangan anak merupakan kata kunci menekan perkembangan radikalisasi melalui media online.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Share
Published by
Abdul Malik

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

17 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

17 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

17 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

2 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

2 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

2 hari ago