Narasi

SENYUM NABI DAN LAWAKAN NU’AIMAN : Berislam Tanpa Ketegangan

Berislam semestinya memunculkan kedamaian, baik damai di hati, damai dalam perbuatan, maupun damai dalam berhubungan dengan orang lain. Dengan adanya kedamaiain akan muncul jaminan keselamatan. Baik keselamatan untuk diri sendiri, maupun keselamatan untuk orang lain dan lingkungannya.

Islam –secara generic- memang memiliki arti selamat. Rasulullah SAW sendiri menyatakan, bahwa seorang muslim adalah orang yang orang lain terjamin keselamatannya, dari gangguan provokasi lisan maupun kejahilan tangan. Rasulullah SAW juga menekankan bahwa implementasi keimanan adalah memberikan keamanan dan kedamaian atas harta dan kehidupan orang lain.

Al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi wa al-muhajiru man hajara ma naha Allah ‘anhu wa al-mu’minu man aminahu al-nasu ‘ala dima’ihim wa amwalihim.

“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslim lainnya terselamatkan dari lisan dan tangannya, orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan hal-hal yang terlarang untuk dilakukannya dan seorang mukmin adalah orang yang memberikan keamanan bagi orang lain atas darah dan harta mereka.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)

Dengan demikian, menapaki jalan keislaman adalah menepiskan ketegangan, rasa ketakutan dan memastikan adanya kedamaian dalam kehidupan. Orang -yang mengaku- Islam tetapi  kerap kali menebar terror dan ketakutan jelas bukanlah idealitas seorang muslim yang dicirikan oleh Rasulullah SAW. Seorang teroris mudah sekali dikenali dari wajahnya yang selalu tegang, tak pernah tersenyum, dan tak memiliki selera humor sama sekali.

Saya ingin menyebut seorang sahabat Rasulullah SAW dari kalangan Ansor yang terkenal sebagai pelawak dan senang melucu. Namanya adalah Nu’aiman Bin Amru. Banyak leluconnya yang menyebabkan Rasulullah SAW tertawa. Setiap kali Rasulullah SAW berjumpa dengan Nu’aiman, beliau tak dapat menahan diri untuk tersenyum.

Beberapa sahabat pernah juga “dikerjai” oleh Nu’aiman dan akhirnya tertawa bersama. Bukan hanya sahabat, Rasulullah SAW pernah “dijahili” oleh Nu’aiman dan karenanya memaklumi tingkah lakunya karena tahu bahwa itu adalah sekedar lucu-lucuan dan seru-seruan saja agar suasana menjadi cair dan tidak tegang.

Suatu ketika Nu’aiman melihat penjual madu yang kepanasan dan keletihan setelah berkeliling menjajahkan madunya di Madinah. Setelah seharian berkeliling, tak satupun dagangannya terjual.

Nu’aiman menjumpai penjual madu itu dan diajaknya menuju rumah Rasulullah SAW. Setelah mendekati rumah Rasulullah SAW, Nu’aiman menyuruh penjual madu menunggu seraya membawa sebotol madu, kemudian berikanlah madu itu kepada Rasulullah SAW.

“Ya Rasulullah, aku tahu engkau suka madu. Oleh karena itu aku berikan madu ini untukmu sebagai hadiah.” Sepintas Nu’aiman senyum-senyum sendiri.

Lalu ia menjumpai penjual madu dan mengatakan, “Aku akan pergi karena masih ada urusan. Sebentar lagi penghuni rumah itu akan keluar dan membayar kepadamu harga madu itu.”

Sang penjual madu cukup lama menunggu, tapi tak satupun yang keluar dari rumah itu. Maka, ia beranjak menuju rumah dan mengetuk pintu, “Wahai penghuni rumah, bayarlah harga maduku.”

Rasulullah SAW di dalam rumah terkejut, tetapi segera memahami bahwa ini pasti ulah Nu’aiman yang sedang membuat lelucon agar Rasulullah tersenyum. Tanpa berkata apapun Rasulullah SAW menemui penjual madu dan membayar harga madu itu.

Tatkala beliau bertemu dengan Nu’aiman di kemudian hari, beliau tersenyum dan berkata, “Apa yang telah engkau lakukan terhadap keluarga nabimu, wahai Nu’aiman?.”

Sambil cengengesan, Nu’aiman menjawab, “Ya Rasulallah, aku tahu engkau suka sekali menikmati madu. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli dan menghadiahkan kepadamu. Maka, aku mengantarkan saja kepadamu dan semoga aku mendapat taufiq ke arah kebaikan.”

Lihatlah, betapa kehidupan keislaman di zaman Rasulullah SAW pun begitu rileks, penuh dengan keceriaan, dan jauh dari ketegangan, apalagi ketakutan dan terror.

Profil Nu’aiman kira-kira mirip seperti Abu Nuwas atau Juha, orang-orang yang penuh humor dan membuat kesan Islam menjadi ceria dan tidak menegangkan. Sepertinya, dalam perjalanan sejarah selalu saja ada orang yang menceriakan suasana dengan lelucon dan humor yang menyegarkan.

Hamim Enha Gipo

Direktut Al-Biruni Institute – Center for Islam and Inter-Cultural Studies. Alumni Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Aktif sebagai aktivis perlindungan anak pada Jaringan Anak Nusantara (Jaranan). Menjadi salah satu pengasuh di Pesantren Motivasi Indonesia –Nurul Mukhlisin Bekasi. Karya yang sudah dibukukan: Jejak Pengabdian (Biografi Kyai Djuweni Purbalingga), Mekarya Publishing; Berbeda-Beda Tetapi Tetap Damai Juga, Aswaja Press.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago