Narasi

Setiap Kita Adalah “Ibrahim”

Secara metaforis, setiap di antara kita sejatinya adalah “Ibrahim”. Sebagaimana akar historis, Nabi Ibrahim memiliki Ismail. Maka, Ismail kita bisa jadi adalah ego kita sendiri. Bahkan, Ismail kita bisa jadi harta-kekayaan kita sendiri.

Karena, Ismail kita pada hakikatnya merupakan sesuatu yang kita sayangi. Dia adalah “pertimbangan” yang begitu berat untuk direlakan. Seperti halnya harta kekayaan yang “terkadang” selalu kita pertahankan. Pun, Ismail kita bisa jadi, sesuatu yang dianggap benar menurut (ego) kita sendiri. Keduanya adalah Ismail kita yang sangat-sangat sulit untuk direlakan. Tetapi kita perlu membangun semacam (keikhlasan) untuk dikorbankan.

Sehingga, sangat penting saya kira untuk bisa melakukan semacam (penghayatan peran). Sebagaimana pentingnya menyelami keputusan-keputusan “sulit” yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim untuk bisa menyembelih anak-nya yang sangat disayanginya.

Artinya, secara watak dan tindakan kita juga perlu menjadi “Ibrahim” yang bisa melucuti segala hasrat kepemilikan terhadap Ismail. Sebagaimana Ismail kita adalah harta-kekayaan dan egoisme diri yang sangat begitu sulit untuk kita korbankan. Maka, dengan kesadaran untuk mengambil peran secara (metaforis) inilah, kita perlu menjadi Ibrahim yang bisa mengorbankan Ismail kita sendiri secara tulus.

Sehingga, dari sinilah sebetulnya refleksi Idul Adha dalam hal (berkurban) kita benar-benar bisa menggapai esensi nilai di dalam-nya. Melebur sebagai cahaya kesadaran yang bisa memprogram watak dan tindakan kita. Sehingga, bisa mengubah cara berpikir mau-pun perilaku kita yang kadang selalu condong egois. Serta, membuat kita “langgeng” untuk selalu ringan mengorbankan harta-kekayaan kita kepada orang-orang yang sangat membutuhkan.

Karena, Idul Adha tidak hanya sekadar perayaan spiritualitas tanpa makna subtansial. Karena, kisah Nabi Ibrahim dengan anak-nya yang bernama Ismail ini bukan hanya sekadar cerita-cerita romans atau drama-drama yang penuh kesedihan dan keharuan di akhir.

Ini perihal pelajaran tentang hidup. Sebuah gambaran tentang keadaan diri kita yang nisbi. Tentu, kisah demikian adalah cara kita  mengasah dan memperbaiki diri kita. Sebagaimana kebiasaan kita yang masih selalu dan bahkan sering mempertahankan ego dan rasa “eman” terhadap harta-kekayaan kita.

Oleh karenanya, kita perlu mendapatkan pelajaran dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim yang begitu rela untuk menyembelih anak-nya. Dengan mengambil peran yang telah dilakukan oleh beliau sebagai basis (teladan).

Sebagaimana secara metaforis, kita adalah Ibrahim. Tentu, Ibrahim memiliki Ismail. Maka, Ismail kita adalah ego dan harta kekayaan kita. Dari sinilah kita perlu menyelami dan meresapi bagaimana kekuatan mental berpikir yang matang dari Nabi Ibrahim untuk bisa tabah dan sabar di dalam mengorbankan anaknya yang sangat disayangi. 

Walau-pun, skenario Tuhan, sejatinya hanya ingin “menguji”  menguji Nabi Ibrahim akan ketulusan, keikhlasan dan kesadaran untuk melepaskan rasa kepemilikannya untuk bisa kembali ke dalam khittah-Nya.

Maka, relevansi kita sebagai Ibrahim dalam kehidupan saat ini adalah mencoba untuk mengikhlaskan Ismail kita. Yaitu ego dan rasa sayang terhadap harta-kekayaan. Untuk segera dikorbankan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Karena dengan cara seperti ini, yaitu membangun semacam (penghayatan kisah) dengan (mengambil peran) secara metaforis, niscaya kita akan jauh lebih tulus. Di dalam mengorbankan egoisme dan rasa “eman” terhadap harta kekayaan yang kita miliki.

Sehingga, dengan kita bisa mengorbankan Ismail kita berupa egoisme, niscaya ini akan menjadi semacam “perbaikan” bagi kita. Agar, kita tidak mudah menyalahkan, menolak pendapat orang lain (tidak egois). Serta tidak mudah menang-nya sendiri. Artinya, ketika egoisme diri telah kita korbankan, kita akan lebih mementingkan cara berpikir yang kolektif, terbuka dan selalu tolerant terhadap yang lain. Begitu juga ketika kita bisa mengorbankan Ismail kita. Berupa harta-kekayaan yang sangat (disayanginya).            

Oleh karena itu, kita perlu mengorbankan Ismail kita yaitu egoisme dan kekikiran terhadap harta-kekayaan. Agar, Idul Adha yang kita jalani mampu menjadi (jembatan) terbangunnya kemaslahatan bersama di negeri ini.

This post was last modified on 21 Juli 2021 2:07 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

1 hari ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

1 hari ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

1 hari ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago