Ada hal yang menarik ketika mencermati tanggapan salah satu pengurus MUI tentang diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Penggunaan Seragam Sekolah baru-baru ini. Salah satu tanggapan itu berbunyi kurang lebih seperti ini, “Jika sekolah kemudian tidak diperbolehkan untuk melarang atau mewajibkan penggunaan atribut keagamaan, maka sekolah kemudian tidak lagi layak disebut sebagai lembaga pendidikan. Tugas sekolah sebagai lembaga pendidikan itu adalah memaksa anak didiknya untuk melakukan perintah yang baik dari agama sebagai pembiasaan bagi anak didik, apalagi anak didik itu masih di usia sekolah (SD-SMA). Jadi, SKB itu harusnya dicabut saja.” (dikutip dari berita Republika)
Sekilas ketika kita lihat tanggapan itu memang seolah rasional. Betul memang anak di usia sekolah itu, dalam hal pendidikan budi pekerti, harusnya memang dilakukan dengan pembiasaan. Namun, apakah dalam konteks ini tanggapan salah satu pengurus MUI tersebut sudah tepat?
Untuk menjawab itu, terlebih dahulu haruslah ditelusuri apa latar belakang dan orientasi dari diterbitkannya SKB 3 Menteri tersebut. Sejauh penulis amati, latar belakang dari penerbitan SKB 3 Menteri itu adalah adanya peristiwa pewajiban jilbab di sebuah sekolah negeri di Sumatra Barat. Peristiwa itu sempat viral, karena ada salah satu siswi yang tidak beragama Islam yang juga diwajibkan berjilbab saat di sekolah. Peristiwa pewajiban/pelarangan jilbab semacam itu setelah ditelusuri ternyata tidak hanya terjadi di Sumatra Barat, melainkan juga di daerah-daerah lain. Menurut laporan Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) masih ada beberapa daerah lain yang menerapkan aturan semacam itu, seperti aturan kewajiban jilbab di beberapa sekolah di Banyuwangi, Yogyakarta, dan Riau atau aturan pelarangan jilbab seperti yang terjadi di beberapa sekolah di Bali, Manokwari, dan Maumere.
Melihat fenomena itu kemudian tiga menteri dari tiga kementerian Republik Indonesia kemudian bersepakat untuk menerbitkan SKB 3 Menteri. Dalam kacamata mereka fenomena aturan pewajiban atau pelarangan atribut keagamaan di sekolah itu dapat menciderai marwah bangsa ini sebagai bangsa yang dikenal toleran terhadap perbedaan. Karena dalam aturan semacam itu terselip hegemoni mayoritas dan pengabaian hak-hak minoritas.
Dengan adanya aturan pewajiban atau pelarangan atribut keagamaan di sekolah negeri, maka tidak akan menutup kemungkinan akan mencul tindak diskriminatif terhadap salah satu agama, terutama minoritas. Dalam sekolah negeri itu siswa, guru, atau tenaga kependidikannya bisa saja berasal dari beragam agama atau memiliki kepercayaan yang berbeda-beda. Dalam satu sekolah bisa ada siswa yang beragama Islam, Khatolik, Kristen, Budha, Hindu, atau Khonghucu. Kalau nanti sekolah negeri kemudian ada yang mewajibkan penggunaan jilbab di sekolah karena kebanyakan siswa/i-nya beragama Islam, lantas bagaimana dengan nasib siswi beragama non-Muslim? Kalau nanti siswi non-Islam itu juga diwajibkan, seperti yang terjadi di Sumtra Barat, maka jelas ini adalah tindakan yang intoleran. Coba bayangkan bagaimana seandainya kita berada di posisi siswi non-Muslim!
Selain itu, kalaupun siswi non-Muslim itu kemudian diberi perlakuan khusus, seperti tidak diwajibkan berjilbab, maka ini juga akan tetap menjadi perlakukan yang intoleran. Di mana pun, menjadi seseorang yang diperlakukan secara khusus itu, apalagi perlakuan khusus itu didasarkan atas rasa kasihan bukan atas dasar prestasi, ia akan memberikan ketidaknyamanan tersendiri bagi yang bersangkutan. Ketika kebanyakan temannya mengenakan jilbab di sekolah, sementara dia sendiri atau dia bersama beberapa gelintir orang saja yang tidak memakai jilbab, maka tentu ia akan merasa risih atau tidak nyaman. Padahal sekolah tempat ia belajar itu adalah sekolah negeri bukan sekolah agama.
Sampai di sini mestinya menjadi jelas bahwa latar belakang dari diterbitkan SKB 3 Menteri itu adalah karena adanya tindak intoleran yang diakibatkan oleh pewajiban atau pelarangan jilbab di sekolah negeri. Adapun orientasi dari SKB 3 Menteri itu adalah untuk mengajarkan pada siswa/i sekolah negeri terbiasa dengan perbedaan dan belajar menghargai perbedaan agama dan keyakinan.
Orientasi SKB 3 Menteri yang demikian itu jelas amat penting untuk diparesiasi bersama dan didukung penuh oleh berbagai elemen kebangsaan. Mengapa? Karena selama ini, bangsa ini sudah telanjur menganggap lazim beberapa sikap intoleran dalam kesehariannya. Praktik-praktik intoleran seperti pewajiban/pelarangan jilbab di sekolah negeri atau pelafalan doa dengan cara agama mayoritas sudah menjadi hal biasa di negeri ini. Saking biasanya, sehingga ini kemudian dianggap sebagai sesuatu yang lazim atau tidak bermasalah, walaupun secara prinsip ini jelas sangat bermasalah, terutama bagi kalangan minoritas.
Melihat latar belakang dan orientasi SKB 3 Menteri itu, tentu pernyataan salah satu anggota MUI, sebagaimana dikutip di atas, harus ditinjau ulang. Penerbitan SKB 3 Menteri itu bukanlah sebentuk tindakan yang membuat sekolah hilang marwahnya sebagai lembaga pendidikan. Sebaliknya, penerbitan SKB tersebut justru hendak mengembalikan marwah sekolah sebagai lembaga pendidikan, terutama sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan.
This post was last modified on 8 Februari 2021 11:16 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…