Narasi

Tahun Politik: Tahun Persatuan dan Perdamaian

Setiap tahun sejatinya adalah tahun politik. Sebab pasti ada peristiwa politik penting yang terjadi saban 12 bulan tersebut. Di Indonesia, pada 2017 (tahun kemarin) dilaksanakan pemilihan kepadal daerah (pilkada) serentak gelombang II pada 15 Februari 2017. Diikuti 101 daerah dari berbagai tingkatan: 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Pada 2018 (tahun ini) kembali dihelat pilkada serentak pada 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang melaksanakannya. Terdiri dari 17 provinsi, 30 kota, dan 115 kabupaten. Tahun 2019 (tahun besok), akan digelar pencoblosan langsung untuk memilih Presiden RI yang baru. Artinya pengalaman demi pengalaman melalui peristiwa tersebut semestinya membuat bangsa ini semakin dewasa dalam berpolitik. Mengambil pelajaran dari setiap kejadian. Menyerap hal yang baik dan meninggalkan hal yang merusak.

Tetapi harus diakui, kondisi ideal tersebut masih belum kita rasakan bersama. Masyarakat Indonesia masih perlu banyak belajar menyikapi peristiwa politik dengan kepala dingin dan rasional. Politik, yang seharusnya menyatukan seluruh rakyat, justru kerap menjadi ajang konflik dan pertikaian. Ajang pesta demokrasi ini akhirnya menjadi pesta permusuhan yang mengerikan. Antar pendukung kontestan saling hujat dan merendahkan. Bahkan beberapa kali terjadi intimidasi dan persekusi akibat prinsip dan pandangan yang berbeda. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah saling bergandengan tangan dan bekerja sama. Saling mensupport dan menguatkan. Sehingga siapapun yang menjadi pemimpin akan diikuti dan didukung penuh. Jika pun ada  kritik, semestinya dilakukan dengan cara-cara yang beradab dan bertanggungjawab.

Terkait hal ini, kita patut menaruh perhatian pada isu identitas yang sering digunakan untuk kepentingan politik elektoral. Jika isu politik identitas ini tidak dikelola dengan baik dan cenderung dilakukan secara serampangan, maka akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Pilkada yang seharusnya menyatukan masyarakat justru akan memecah belah mereka. Kita berharap, mereka yang bertarung di pilkada dan pendukungnya harus bijak dalam mencari simpati. Jangan menggunakan cara-cara murahan yang provokatif. Pasangan calon, tim sukses, dan masyarakat harus cerdas berpolitik. Lakukannya kampanye kreatif yang menyejukkan dan memberi solusi. Bukan justru menambah masalah dan membuat keributan. Sungguh, pertikaian sama sekali tidak memberi faedah apapun.

Kita bisa bercermin pada peristiwa pemilihan presiden tahun 2014 dan pilkada DKI tahun 2017. Saat itu, hoax yang menggunakan isu SARA diproduksi secara besar-besaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Pilpres dan pilkada seakan menjadi pertarungan antara haq dan bathil. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Pilpres dan pilkada hanyalah kontestasi biasa untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak perlu dipandang sebagai perang suci hingga membawa-bawa agama. Ironisnya, hingga kini jejak tersebut masih terus membekas di masyarakat. Hoax seakan telah menjadi makanan kita sehari-hari. Tidak ada hari tanpa hoax politik. Otak kita terus-menerus dijejali dengan fitnah dan kebencian. Energi bangsa ini habis untuk menelan hal-hal yang tidak penting.

Terkait hal di atas, penting untuk merenungi pernyataan dari Cherian George. Dalam bukunya Pelintiran Kebencian (2017), dia menjelaskan bahwa hasutan dan keterhasutan berbasis agama adalah pertunjukan yang dibuat oleh wirausahawan politik dalam rangka mendapatkan kekuasaan. Para oportunis ini memanfaatkan sentimen masyarakat dan mendorong pengekspresian kehendak massa untuk memobilisasi masyarakat ke arah yang justru anti-demokrasi. Kekuatan rakyat dimanfaatkan justru untuk memperlemah kekuatan rakyat itu sendiri. Dan menurutnya, hukum harus melarang penyalahgunaan kebebasan berekspresi untuk tujuan diskriminasi atau kekerasan terhadap pihak yang rentan (2017:1). Catatan Cherian George ini menjadi catatan bagi para politisi dan masyarakat. Keduanya pihak ini wajib mengubah diri agar tidak menggunakan isu yang sensitif demi mengejar kekuasaan.

Semoga tahun 2018 (dan tahun-tahun selanjutnya) masyarakat Indonesia makin dewasa dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih cerdas dalam mencerna informasi dan tidak mudah terprovokasi. Selain itu, kita menaruh harapan besar bagi aparat penegak hukum untuk terus memberantas pihak-pihak yang gemar memprovokasi dan menyebar kebencian. Baik di dunia maya maupun dunia nyata. Mari kita songsong tahun 2018 dengan senyum mengembang dan optimisme. Bahwa bangsa ini akan terus maju menjadi bangsa yang besar dan kuat. Bangsa yang meninggalkan perpecahan dan fokus pada persatuan.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

13 jam ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

16 jam ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

18 jam ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

18 jam ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

2 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

2 hari ago