Di tengah mulai menggeliatnya kaum muslim moderat dalam menyuarakan Islam yang damai dan konstruktif sebagaimana mestinya, masih ditemui pula kelompok lain yang nyaring menyuarakan kebencian dan permusuhan seolah itu adalah perintah tuhan. Ujaran-ujaran kebencian (hate speech) dan permusuhan tentu saja bertentangan dengan semangat utama islam yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap perbedaan.
Dalam konteks yang lebih luas, ujaran kebencian dan tindak kekerasan menentang seluruh nilai kemanusiaan. Kekerasan, baik secara verbal maupun fisik, merupakan awal dari perpecahan dan kehancuran. Dalam banyak kasus, pecahnya kekerasan bermula dari hal yang sepele; prasangka (prejudice). Prasangka –yang kemudian dibungkus dalam bentuk ujaran-ujaran kebencian— inilah yang menjadi ‘kompor’ untuk merebaknya permusuhan, perpecahan dan kekerasan. Mengutip Jacob dan Potter (2000), prasangka memiliki potensi besar dalam menciptakan jarak di antara masyarakat.
Kondisi ini disebutnya menjadi ladang persemaian untuk tumbuh kembang hate crime yang secara definitif diartikan The Anti-Defamination League sebagai tindak kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian terhadap korban berdasarkan ras, agama, orientasi seksual, etnis, atau asal kebangsaan (Robinson, 2007). Hal yang tampak jelas di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, terkait dengan kekerasan, adalah merebaknya intoleransi. Di mana perbedaan dianggap sebagai lampu hijau untuk melakukan kekerasan.
Bangsa Indonesia sempat dipuja sebagai bangsa yang majemuk dan sangat menghargai perbedaan (Furnivall, 1967), namun pandangan itu sepertinya kini mulai tampak hancur berantakan. Kelompok-kelompok mayoritas semakin jumawa dengan menganggap diri memiliki otoritas untuk menindas minoritas. Laporan dari PEW Research Center 2016 yang menyebut Indonesia masuk dalam daftar negara-negara dengan predikat terburuk untuk urusan toleransi agama/keyakinan seharusnya cukup untuk membuktikan betapa bangsa ini perlu segera berbenah.
Bukan Konflik Antar Agama
Hate speech, yang disebut sebagai biang utama pecahnya kekerasan harus sebisa mungkin diredam, jika perlu dihilangkan seluruhnya. Kita pun perlu memberi apresiasi tinggi atas kerja serius aparat kepolisian yang berhasil mengamankan orang-orang yang diketahui sebagai penyebar hate speech dan bahkan hate crime. Di luar memang terdengar suara-suara sumbang yang menyebut upaya ini sebagai bentuk perang terhadap agama. Tentu saja klaim ini tidak berdasar dan berlebihan.
Seperti disebut oleh Bachtiar Efendi (2001), ketegangan yang terjadi di antara umat beragama justru berkaitan erat dengan faktor-faktor di luar agama itu sendiri. Artinya, agama tidak pernah memberikan ruang, apalagi persetujuan, untuk aksi kekerasan. Karenanya jelas, ungkapan kebencian dan permusuhan –meskipun dibalut dengan semangat keagamaan— tidak ada kaitannya dengan agama. Dus, melawan para pembuat kerusakan bukanlah perang melawan agama; para aparat itu justru sedang berjuang untuk agama.
Benih Terorisme
Hate speech memang telah menjadi kekhawatiran bersama, terutama karena efek domino yang bisa dihasilkannya sangat mengerikan. Hate speech yang tumbuh dalam bentuk hate crime dan intoleransi dapat meruncing pada aksi-aksi kejahatan, termasuk terorisme. Hal ini tentu tidak berlebihan, karena sejak 2015 lalu, FBI – melalui sejumlah investigasi yang mereka lakukan—menyebut hate crime dan intoleransi sebagai benih untuk terorisme. Pernyataan tersebut berbunyi “…groups that preach hatred and intolerance can plant the seed of terrorism here in our country.” Biro Investigasi Federal tersebut pun diketahui bekerja serius dalam menangani hal ini. FBI sendiri telah menempatkan hate crime di posisi kelima untuk daftar kejahatan yang paling berbahaya.
Fakta di atas harus menjadi alarm merah untuk Indonesia, khususnya untuk urusan intoleransi. Catatan komnas HAM 2017 menunjukkan bahwa jumlah kasus-kasus intoleransi mengalami peningkatan. Untuk mengatasi hal yang pelik ini, masyarakat sebaiknya tidak sepenuhnya menyerahkan kepada aparat; melainkan juga ikut ambil bagian dalam memerangi kekerasan.
Hal pertama dan utama untuk dilakukan adalah memastikan untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat, yakni dengan selalu menjaga diri agar tetap berada di track yang benar. Masyarakat pun harus lebih mengutamakan persatuan dan kewarasan pola pikir, sehingga tidak berlaku pandir dan cenderung gegabah menyebut yang lian sebagai kafir.
Perlu diketahui bahwa takfiri atau kecederungan untuk mudah mengkafirkan orang lain adalah ciri utama paham dan kelompok teroris. Kelompok-kelompok teroris internasional sekelas Al Qaeda dan ISIS mencontohkan hal itu. Mereka membangun semangat terornya di atas landasan takfiri, di mana pengkafiran dijadikan pembenaran untuk kekerasan yang mereka lakukan.
Islam mengajarkan kesabaran dan kesungguh-sungguhan. Agama ini tidak diturunkan agar kita semakin fasih berlaku kekerasan, tidak pula untuk menjadikan kita umat yang dipenuhi dendam kesetanan.
This post was last modified on 13 Juli 2017 1:50 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…