Categories: Narasi

Teriak ‘Allahuakbar’ tapi kok malah ngrusakin pagar?

Islam adalah kepatuhan, artinya, orang yang mengaku muslim adalah mereka yang patuh; patuh terhadap perintah dan aturan. Demikian disampaikan oleh Abdul Mukti, seorang anggota Polsek Ciputat di sela-sela acara Seminar Nasional dengan tema “Radikalisme Agama Dalam Persepktif Global dan Nasional” di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (11/6/2015).

Sebagai seorang aparat negara, dirinya mengaku kerap kali bertugas mengamankan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, tidak terkecuali demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok yang mengaku membela kepentingan agama namun kekerasan masih juga tidak pernah lepas dari tiap aksinya. “Setahu saya, itu (melakukan kekerasan dengan nama agama, red) tidak benar, seharusnya orang yang takbir ‘allahuakbar’ tidak ngerobohin pagar, tidak ngelemparin orang. Allahuakbar itu ya kalau halaman kotor, ya disapu. Gitu aja”

Anggota polisi yang tahun depan akan segera mengakhiri masa tugasnya (pensiun) ini berkeyakinan bahwa ciri utama seorang muslim terletak pada kepatuhan, baik patuh kepada aturan agama maupun kepada aturan negara. Ketika disinggung tentang maraknya kemunculan kelompok yang meneriakkan pendirian negara khilafah dengan menginjak-injak sistem demokrasi, ia menyatakan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. Meskipun Indonesia dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Islam, namun pendirian negara Islam tidak akan tepat sasaran. Ia meyakini bahwa hal terbaik yang bisa dilakukan untuk memajukan bangsa ialah melalui pendidikan, bukan penggerogotan model pemerintahan.

Bapak tiga anak ini ingin agar kita semua dapat saling bekerjasama untuk menampilkan citra yang baik sebagai sebuah kesatuan. Karena kebaikan yang kita lakukan, meski hanya berupa kebaikan kecil, akan dapat dirasakan oleh banyak orang, demikian juga yang akan terjadi jika ternyata malah keburukan yang kita lakukan. Ia mencontohkannya dengan aksi demonstrasi; Ketika ada sekelompok orang yang melakukan aksi demonstrasi, dimana tidak jarang aksi-aski tersebut meluas kepada perilaku yang merugikan masyarakat, seperti memblokade jalan, membakar ban, merusak fasilitas umum, dll, mereka sebenarnya justru sedang menampilkan citra buruk tentang diri mereka sendiri. Masyarakat yang melihat aksi yang mereka lakukan bukannya memberi dukungan, karena masyarakat yang dirugikan dengan aksi ugal-ugalan tersebut tidak mendapat manfaat sama sekali dari aksi yang sedang dipertontonkan.

Citra buruk itu tidak hanya akan berhenti di pelaku aksi demonstrasi, karena masyarakat akan sangat mudah ‘melanjutkan’ cibirannya ke ranah yang lebih luas. ‘Korban’ pertama yang akan terkena cibiran tersebut adalah kepolisian. Masyarakat akan cenderung memandang bahwa brutalnya aksi demonstrasi adalah bukti gagalnya polisi menjaga keamanan dan ketenangan lingkungan.

Jika tidak segera diatasi, ‘rute’ cibiran ini bisa saja terus meluas hingga ke orang/lembaga yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan kelompok maupun gagasan yang diusung oleh pelaku demonstrasi; dunia pendidikan, lembaga keagamaan, dst,  akan turut menjadi bulan-bulanan dari cibiran tersebut. Masyarakat misalnya, tidak akan pikir panjang untuk mengaitkan perilaku onar pelaku demonstrasi sebagai hasil dari sistem pendidikan sekolah yang buruk,  karena hanya orang dengan pendidikan buruk saja yang kemaruk.

Dalam beberapa hal, agama memang tentang menjaga citra. Perdamaian, persaudaraan dan berbagai ajaran agung yang ada dalam agama tidak akan tampak ‘ada’ jika hal itu tidak pernah ditampilkan dalam praktek kehidupan nyata. Orang tidak akan begitu saja percaya bahwa Islam adalah agama perdamaian jika masih saja ada orang yang gemar melakukan kekerasan. Ajaran persaudaraan dan penghormatan terhadap sesama hanya akan dianggap sebagai khayalan jika masih saja ada ‘preman bersorban’ yang hobi menyalah-nyalahkan orang lain yang berbeda pandangan. Agama memang tidak hanya tentang apa yang dipelajari dan dipercayai, tetapi juga tentang perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari.

This post was last modified on 11 Juni 2015 7:05 PM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

1 hari ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

1 hari ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

1 hari ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

3 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

3 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

3 hari ago