Tragedi Sigi menjadi kejahatan kemanusiaan yang patut untuk dijadikan pembelajaran berharga, bahwa hingga saat ini teror masih saja melanda negeri ini. Tentu hal ini menjadi pekerjaan berat untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya pemerintah semata, sebab penanggulangan terorisme merupakan kewajiban bersama. Jika menggantungkan pada satu pihak, maka penanganan terhadap terorisme akan sulit dilakukan. Dibutuhkan kerjasama yang baik antar elemen bangsa.
Tragedi Sigi juga menjadi cermin berharga bagi umat Islam agar mengevaluasi kembali aktifitas dakwah yang selama ini dilakukan. Sebab disinyalir pelaku pembunuhan terindikasi merupakan bagian dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Dakwah model gerakan MIT dan yang sejenisnya ini harus ditinjau, apakah ajarannya mengandung unsur radikal atau tidak. Jika memang ada indikasi mengandung ajaran radikal, maka perlu diluruskan dan diberikan pemahaman yang selaras dengan paham Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Pentingnya Dakwah Ruhiyah
Dakwah model gerakan jihad fisik dan militansi, sebagaimana yang banyak bercokol di Indonesia, jika ditinjau lebih lanjut, sepertinya memang kurang tepat dalam penerapan metodenya, sehingga hasilnya bisa menumbuhkan gerakan teror. Jika merujuk pada metode dakwah Nabi Muhammad Saw, akan ditemukan 2 metode berbeda, yakni metode dakwah periode makkah dan metode dakwah periode madinah.
Dalam dakwah periode makkah, sebagaimana diulas Ngatmin Abbas Wahid (2017), materi substansial yang diajarkan Nabi Muhammad Saw adalah seputar pelurusan akidah, perbaikan akhlak masyarakat, persamaan hak dan kewajiban dalam Islam, serta pelurusan terhadap tradisi jahiliyah yang menyimpang. Melihat dari sisi substansi, jelas materi ini berkenaan dengan sisi ruhaniyah umat Islam, atau sisi jiwanya, dan belum terlalu jauh membahas tatanan jasmani. Ini artinya, sebelum umat Islam mengurus tatanan jasmani, yakni yang berkaitan dengan tata kelola duniawi, maka ruhani umat Islam harus beres dulu.
Perbaikan urusan ruhani ini lebih diprioritaskan Nabi Saw, bisa jadi karena memang tatanan jasmani bergantung sejauh mana tatanan ruhani itu baik. Ini ditegaskan pula oleh salah satu kaidah ushul fiqih : “ad-dhahir yadullu ‘ala al-bathin”, bahwa penampakan yang terlihat (lahir) menunjukkan penampakan yang di dalam (bathin). Kalau batinnya baik, tentu tata lahirnya juga baik. Tentu saja yang dimaksud dalam hal ini adalah kebaikan permanen yang muncul dari keseharian seseorang, bukan kebaikan yang dibuat-buat.
Baru setelah ruhani umat Islam baik, maka pada periode madinah, substansi dakwah Nabi Saw berkaitan dengan tata kelola duniawi atau urusan jasmani. Di periode inilah masalah-masalah muamalah banyak ditekankan dan di masa ini pula umat Islam sudah mulai berserikat membangun tatanan bersama yang hari ini disebut sebagai negara. Dalam membangun negara Madinah, ada 4 prinsip yang diterapkan Nabi Saw, sebagaimana diulas Ngatmin. 4 prinsip tersebut adalah : al-adatul insaniyah (perikemanusiaan), asy-syura (bermusyawarah), al-wahdatul islamiyyah (persatuan Islam), al-ukhuwah islamiyyah (persaudaraan Islam).
Karena berprinsip perikemanusiaan dan musyawarah, Nabi Saw pun mengajak penduduk Madinah yang non-muslim, yakni kaum Yahudi, untuk bersama-sama membangun negara Madinah. Maka Nabi Saw membuat kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah.
Di Madinah inilah, negara yang demokratis benar-benar terwujud, sebab umat Islam sudah memiliki kualitas ruhani yang baik. Maka kesejahteraan, keadilan, keamanan, dan semua hal terkait kenyamanan duniawi bisa diraih. Bahkan sejarawan barat, Robert N Bellah, menyebut bahwa negara Madinah adalah paling maju pada masanya, dimana belum ada bangsa lain yang melakukan sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah Saw.
Kerancuan Metode Dakwah
Metode yang diterapkan Nabi Saw ini, menurut hemat penulis, merupakan metode dakwah terbaik, sehingga menghasilkan manusia berkualitas. Sayangnya ini belum mampu diterapkan oleh Islam model jihadis. Mereka ini lebih mengedepankan aspek jasmani atau duniawinya, seperti penegakan khilafah, penguasaan terhadap negara, dan perang melawan kaum kafir. Bisa dikatakan, mereka lebih mengutamakan metode dakwah periode madinah dari pada metode dakwah periode makkah.
Umat Islam dijejali dengan bagaimana menata urusan duniawi, seperti mendirikan sebuah negara. Sementara aspek ruhaninya kurang diperhatikan. Memang mereka terlihat militan dalam urusan tauhid, tetapi tauhid yang lagi-lagi berujung duniawi. Tauhid justru mengutuk orang yang berbeda pandangan, membenci paham lain, dan tidak menerima adanya perbedaan. Padahal, Nabi Saw sendiri menerapkan prinsip al-adatul insaniyah atau perikemanusiaan, dimana memandang manusia lain juga memandang makhluk Tuhan yang tidak boleh dilecehkan.
Karena kurang tepat dalam penerapan metode dakwah, maka hasilnya juga umat yang kurang tepat dalam geraknya. Mereka menjadi kaum yang gampang memusuhi orang lain karena beda pandangan, keyakinan, agama, dan segala yang berbau jasmaniyah. Gerakan seperti inilah yang rawan memunculkan teror di tengah masyarakat.
Karena itu, umat Islam perlu kembali meninjau metode dakwahnya agar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Nabi Saw. Jangan sampai karena salah metode, lahirnya aksi-aksi teror dari umat Islam yang ujungnya bisa melukai orang-orang yang tidak berdosa.
This post was last modified on 3 Desember 2020 3:34 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…