Dimana ada terorisme, disitulah nilai kemanusiaan diinjak-injak. Di Nigeria, kelompok teroris Boko Haram membunuh sekitar 40 petani di desa Koshobe, Maiduguri pada Sabtu (28/10/2020). Para petani itu dibunuh dengan keji; diikat dan digorok lehernya. Kejam! Sehari sebelumnya, di Indonesia tepatnya di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, empat orang warga yang masih satu anggota keluarga dibantai; ada yang dipenggal kepalanya, ada yang dibakar hidup-hidup. Pelakunya disinyalir ialah gembong teroris, Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Ali Kalora dan anak buahnya.
Apa motif dari dua pembantaian di atas? Tidak ada! Teroris memang tidak membutuhkan alasan untuk menghilangnya nyawa manusia lain. Bagi teroris, membunuh bukanlah semata menghilangkan nyawa orang yang dianggap musuh. Bagi mereka, membunuh ialah upaya unjuk diri, membuktikan bahwa mereka masih ada dan memiliki kekuasaan, serta menciptakan keresahan di masyarakat. Tidak ada istilah lain untuk mereka, selain kata “barbar”.
Di Indonesia, terorisme telah menjadi bahaya laten bagi ketahanan negara sekaligus ancaman bagi nilai kemanusiaan. Tercatat sudah dua dekade kita bergelut memerangi terorisme, dari semenjak era Jamaah Islamiyyah, hingga sekarang muncul sempalan-sempalannya seperti JAD dan MIT. Terorisme di Indonesia mengakar kuat pada isu konflik antaretnis dan agama yang marak terjadi sesaat pasca lengsernya Orde Baru.
Konflik sosial berlatar SARA di berbagai tempat, seperti Maluku, Ambon, Poso dan wilayah lainnya telah melahirkan kelompok-kelompok milisi Islam yang memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu perang. Tidak hanya itu, secara ideologis pun kelompok milisi ini telah dipengaruhi oleh pemahaman Islam radikal. Belakangan, banyak kelompok milisi itu menyatakan baiat pada ISIS dan menjadi kepanjangan tangannya di Indonesia.
Alhasil, seperti dapat kita lihat, kita masih menghadapi ancaman terorisme meskipun negara dan masyarakat berusaha sekuat tenaga memberangusnya hingga ke akar-akarnya. Tidak hanya di Indonesia, terorisme telah menjadi fenomena global. Hari ini, nyaris tidak ada negara yang bisa dibilang steril dari ancaman terorisme. Maka, selain menjadi bahaya laten bagi eksistensi negara, terorisme juga telah menjadi ancaman serius bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Membincangkan terorisme tentu tidak bisa dipisahkan dari fenomena kebearagamaan hari ini yang banyak didominasi oleh nalar sektarian-intoleran.
Eksklusivisme Agama Sebagai Embrio Terorisme
Ketika keberagamaan dipahami secara eksklusif, yakni sikap arogan yang menganggap agama sendiri paling benar, maka dari situlah benih-benih terorisme itu sebenarnya telah muncul. Nalar keberagamaan eksklusif akan bereskalasi menjadi pandangan keagamaan radikal, yakni menganggap kelompok lain yang berbeda (agama) sebagai musuh yang tidak layak diberikan tempat. Puncak dari radikalisasi keagamaan ini ialah munculnya perilaku ekstrem (berlebih-lebihan) dalam beragama. Wujudnya bisa bermacam-macam, dari mulai yang paling ringan seperti bersikap anti-pada kelompok berbeda agama, hingga yang paling berat; menyerang kelompok agama lain secara fisik.
Fenomena terorisme atas nama agama tentu tidak bisa disimplifikasi ke dalam faktor tunggal. Pada kenyataannya, terorisme merupakan fenomena kompleks yang dilatari oleh berbagai macam faktor. Mulai dari pemahamaan keagamaan yang sempit sebagaimana disebut di atas, hingga persoalan klasik seputar ketimpangan akses ekonomi dan keadilan dalam ranah politik. Namun demikian, faktor kesalahan dalam memaknai ajaran agama bisa dibilang menjadi faktor dominan dalam melahirkan fenomena terorisme.
Sebagai ancaman terhadap ketananan negara dan ancaman bagi kemanusiaan, kita tentu tidak bisa menyepelekan terorisme. Terorisme harus diberantas dari permukaan hingga ke akarnya yang paling dalam. Terorisme harus diberantas, baik orang-orangnya terlebih ideologinya. Di level permukaan dan dalam konteks jangka pendek, terorisme kiranya bisa diberantas dengan melakukan penindakan hukum terhadap siapa saja yang terlibat di dalamnya. Perburuan teroris oleh aparat keamanan harus terus dilakukan. Dalam hal ini, negara memiliki sifat dasar dan kewenangan koersif, yakni otoritas dan kekuatan untuk menggunakan segenap sumber dayanya untuk menegakkan ketertiban umum.
Keberadaan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror sebagai ujung tombak perburuan terjadap terorisme harus dimaksimalkan. Penindakan hukum bagi teroris ialah hal penting lantaran akan menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam memberantas terorisme. Penindakan hukum terhadap teroris ialah pesan kuat bahwa negara tidak akan tinggal diam, apalagi kalah melawan terorisme. Tentu, aspek penindakan hukum ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip hak asasi manusia. Jangan sampai, penindakan hukum justru melahirkan dendam baru yang lantas melahirkan apa yang disebut sebagai spiral kekerasan (the spiral of violence).
Memberangus Terorisme Hingga ke Akarnya
Tidak hanya di level permukaan, terorisme wajib kita berantas hingga ke akarnya. Dalam konteks inilah kita memerlukan strategi jangka panjang untuk memutus mataranti indoktrinasi dan kaderisasi jaringan teroris. Strategi pertama ialah membumikan moderasi beragama, khususnya Islam dengan tujuan mengembangkan corak keberislaman yang adaptif pada perbedaan. Moderasi beragama ialah vaksin ampuh untuk menangkal virus radikalisme agama yang menjadi embrio lahirnya terorisme dalam Islam. Moderasi beragama tentu bukan proyek instan sekali jadi yang bisa dilakukan oleh satu pihak, melainkan proyek panjang yang melibatkan banyak pihak.
Pemerintah, kelompok masyarakat sipil, tokoh agama dan organisasi keagamaan serta lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab yang setara untuk membumikan moderasi beragama di kalangan masyarakat. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang mendorong tumbuhnya kesadaran umat beragama akan pentingnya nilai-nilai toleran dan inklusif dalam beragama. Regulasi pemerintah juga diperlukan untuk mencegah kelompok radikal dengan leluasa menebarkan propaganda dan provokasinya di ruang publik.
Begitu pula lembaga atau ormas keagamaan dan tokoh-tokoh agama serta lembaga pendidikan juga memiliki tugas yang sama untuk menggaungkan moderasi beragama. Ormas dan tokoh agama diharapkan bisa menjadi lokomotif yang menarik garbong moderasi beragama. Ormas dan tokoh agama memiliki otoritas untuk membangun corak keagamaan yang lebih terbuka pada perbedaan. Otoritas itu idealnya dipakai dalam kerangka yang konstruktif, bukan sebaliknya justru dipakai untuk menyesatkan umat. Terakhir, lembaga-lembaga pendidikan idealnya juga berperan aktif dalam membangun dan memperkuat wawasan kebangsaan, terutama di kalangan generasi mudanya. Nasionalisme ialah benteng kaum muda dalam menangkal penetrasi radikalisme berjubah agama yang belakangan ini kian masif menggurita.
Arkian, kita berharap peristiwa teror di Sigi, Sulawesi Tengah ini menjadi momentum untuk menyadarkan kita bahwa terorisme ialah kejahatan luar biasa yang menjadi ancaman bagi ketahanan negara sekaligus ancaman bagi nilai kemanusiaan. Peristiwa Sigi menyadarkan kita semua (masyarakat dan pemerintah) agar tidak lengah dengan gerakan senyap kaum teroris. Kaum teroris masih ada, bahkan jumlahnya terus berlipat ganda. Maka dari itu, tidak ada jalan lain selain memadukan pendekatan hukum dan sosial-budaya dalam memberantas terorisme hingga ke akarnya.
This post was last modified on 30 November 2020 5:20 PM
Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…
Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…
Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…