Keagamaan

Tuhan dan Moderasi

Tumuwuh tan tumutuh

Lamun batine samya jinumbuh

Sih kali sing lalis lestantun kaswasih

Ros temen tinemu sadu

Ati teteg teguh tanggon

—Heru Harjo Hutomo

 

Sebagaimana pluralisme, moderasi beragama masih juga dianggap sebagai produk dari liberalisme dalam politik maupun kapitalisme dalam ekonomi yang identik dengan sekularisme. Pada dasarnya anggapan ini tak sepenuhnya keliru. Satu hal yang mesti dipahami adalah bahwa daya hidup dari liberalisme, utamanya kapitalisme, adalah mengkooptasi apapun yang dapat melangsungkan keberadaannya, bahkan pun hal-hal yang berlawanan dengannya.

Dalam kerangka semacam itu, maka dapat disimpulkan bahwa tak hanya moderasi beragama yang seolah tak terceraikan dengan liberalisme dan kapitalisme. Radikalisme keagamaan, yang menjadi antitesis dari moderasi beragama, pada dasarnya tak mungkin pula lepas dari liberalisme dan kapitalisme, atau secara keseluruhan, sekularisme.

Dengan berkaca pada namanya, “sekularisme,” yang berasal dari kata saeculum atau keduniawian, sudah terang bahwa tak mungkin ada apapun yang dapat lepas darinya, bahkan pun—untuk berpikir yang paling jauh—“Tuhan,” dimana sikap keberagamaan (dengan mengafirmasinya) maupun sikap non-keberagamaan (dengan menampiknya atau minimal mengabaikannya) menjadikan dasar dari keberadaannya (Sarkara: Moderasi Beragama dalam Bingkai Kearifan Nusantara, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2023).

Dengan demikian, yang menjadi perkara pada dasarnya bukanlah apakah moderasi beragama lahir, tumbuh dan berkembang dari rahim sekularisme. Tapi adalah bagaimana mengolah apapun yang tak mungkin bisa dihindari menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif atau seturut dengan apa yang dibutuhkan. Tengoklah kebhinekaan yang menjadi anugerah bangsa Indonesia yang tentu saja sama sekali tak membutuhkan radikalisme keagamaan bahkan pun untuk sekedar menggaruk kegatalannya.

Terdapat kearifan dari tradisi golongan wujudiyah, yang konon turut melahirkan konsep wahdatul adyan yang kemudian di Barat memiliki titik-singgung dengan konsep pluralisme keagamaan yang konon menjunjung tinggi toleransi pada perbedaan, bahwa pada hakikatnya segala sesuatunya adalah tunggal kahanan belaka.

Jadi, nyinyiran bahwa pluralisme maupun moderasi beragama adalah produk dari sekularisme hanyalah nyinyiran kaum primitif wani wirang yang telat zaman, namun berlagak maju, yang mana seolah-olah beragama dan bahkan bertuhan itu adalah sama dengan tak berkeduniawian, bahwa kehidupan agamis seolah-olah dapat terlepas dari kehidupan sekular.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Rebranding Pancasila 5.0: Memviralkan Kebangsaan Gen Z di Era Digital

Mari kita bayangkan Indonesia bukan dilihat dari 10 atau 20 tahun yang lalu. Tetapi, bayangkan…

16 jam ago

Dakwah Nge-Pop ala Influencer HTI; Ancaman Soft-Radicalism yang Menyasar Gen Z

Strategi rebranding Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya cukup berhasil. Meski entitas HTI secara fisik…

20 jam ago

Performative Male: Ruang Gelap Radikalisasi yang Menggurita di Era Gen Z

Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun…

20 jam ago

Membedah Anatomi Gerakan Gen Z; Membangun Imajinasi Keindonesiaan yang Otentik

Geliat gerakan yang dimotori gen Z di sejumlah negara ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata.…

2 hari ago

Wajah Baru Radikalisasi di Dunia Game

Gen Z lahir dengan dua kewarganegaraan. Indonesian citizenship dan internet citizenship (netizen). Bagi mereka, tidak…

2 hari ago

Gen-Z dan Islam Moderat; Bagaimana Ekologi Media Membentuk Identitas Beragama yang Inklusif?

Hasil survei dari Alvara Institute pada tahun 2022 lalu menyebutkan bahwa agama menjadi salah satu…

2 hari ago