Narasi

Ulama dan Persatuan Bangsa

Ulama, suatu gelar untuk orang-orang yang memiliki keilmuan Agama yang mempuni, bagi penyandang gelar ini pun dianggap bisa mempersatukan umat di Indonesia, tentu dengan keilmuan, sosok yang dapat di contoh dan dipercaya menjadi seorang yang bijak dalam menyikapi persoalan. Dan tidak sedikit tokoh agam atau ulama yang memperjuangkan kemerdekaan pada masa penjajahan.

Sosok tokoh agama yang pernah memperjuangkan kemerdekaan pada masa penjajahan dahulu, seperti Kiyai Mojo, seorang ulama dari Jawa Tengah yang menentang  pemurtadan di kalangan bangsawan dan sultan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selanjutnya Pangeran Diponegoro sosok seorang yang memiliki ketertarikan teradap kehidupan keagamaan dan juga menjadi pemimpin perang Diponegoro/ Perang Jawa pada tahun 1825-1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.

Kemudian sosok ulama yang berjuang dalam kemerdekaan Indonesia juga adalah Tuanku Imam Bonjol. Beliau juga panglima perang yang bernama perang Padri tahun 1803-1838. Tentu ketiganya digelari sebagai pahlawan Indonesia yang telah berjasa mempersatukan bangsa ini, dari Sabang samapi Marauke. Dedikasi para ulama dan tokoh agama ini pun tidak akan pernah dilupakan oleh zaman, sampai dengan era digital ini.

Namun perjuangan mereka dikenang hanya sebatas sejarah tidak di aplikasikan kepada kehidupan sekarang, munkin ada beberpa atau mungkin banyak, tapi gelar ulama ini sedang dipertanyakan oleh masyarakat yang menilai ulama dalam sosok yang bijaksana dan memiliki akhlak yang baik sehingga mereka disegani dan dijadikan panutan. Kasus yang katanya mengkriminalisasikan “ulama” sedang mencuat, namun apakah benar itu yang terjadi atau malah sebaliknya.

Baca juga : Millenial Peka Hormati Ulama Penyeru Kedamaian

Kasus yang masih sangat hangat jadi perbincangan adalah ulama yang memaki simbol Negara dengan perkataan yang tidak pantas dan bisa dibilang itu melecehkan simbol Negara dan Negara itu sendiri, kenapa demikian dan kenapa ucapan itu terlontarkan dengan lantang oleh sosok ulama tersebut, bukankah hal itu menjadi kontradiktif dengan gelar ulama.  Ucapan itu terlontar dalam sesi dakwah di depan para mad’u (jamaah) disalah satu pesantren.

Dakwah tersebut bisa dibilang bertentangan dengan koridor dakwah seperti yang tertanam dalam Al Quran yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyai :

“Serulah wahai manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk.”

Tertera dalam surat tersebut adalah “berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” Tentu inilah yang dianjurkan dalam berdakwah dengan baik, santun, dan bijaksana  Selain materi dakwah yang bertentangan sudah tentu gelar ulama pun menjadi simpang siur untuk disematkat kepada beliau, apakah berhak dikatakan ulama atau tidak, dan sebenarnya kita sebagai masyarakat pun bisa memilih guru, tokoh agama dan ulama yang memang berhak kita petik ilmunya untuk kehidupan kita.

Dalam kitab Ta’limul Muta’allim ada keriteria guru yang harus kita pilih untuk persoalan agama, keriteria guru yang harus kita pilih adalah orang yang lebih alim, lebih waro’, dan lebih berusia. Mungkin kita dapat membedah satu-satu, yaitu orang yang lebih alim adalah orang yang selalu rajin beribadah dan perlakuannya baik, sedangkan waro’ adalah orang yang dapat menjaga diri dari hal yang haram, baik perbuatan, ucapan, sandang, pangan dan papan. Dan yang terakhir adalah seorang yang lebih berusia, yaitu orang-orang yang meyakini semakin matangnya usia maka semakin banyak ilmu yang dia bagikan secara matang pula.

Setelah memilih guru baru lah kita tahu siapa yang pantas untuk kita sebut seorang guru, tokoh agama dan Ulama itu, tentu hal itu wajib kita menghormati para Ulama kita, namun kita pun tetap menghormati ulama yang sudah berbuat demikian dengan menghormati orangnya, namun pendapatnya tentu kita bisa tentang dengan santun.

Karena itu pun salah satu bentuk cinta terhadap tanah air ini. Tanpa mereka para Ulama kita tidak dapat belajar tentang agama dan mengenal tuhan, namun mereka pun sosok manusia biasa memiliki salah dan sifat khilaf, maka dari itu kita harus menjunjung tinggi persatuan dalam bingkai kemeredekaan yang telah diperjuangkan oleh para ulama kita terdahulu. Jika ulama kembali menyemai perdamaian maka tidak akan pernah terjadi sebuah pertikaian, jika ulama kembali memberikan contoh yang baik bagi masyarakat maka masyarakat pun akan semakin baik.  Mari tanamkan bahwa cinta tahan air adalah iman (M.Quraish Sihab).

This post was last modified on 17 Desember 2018 9:34 AM

Abdul Raufian

Penulis merupakan anggota Surosowan Duta Damai, dan merupakan Mahasiswa Uin Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

View Comments

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

2 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

2 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

3 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

3 hari ago