Narasi

Millenial Peka Hormati Ulama Penyeru Kedamaian

Kata “Ulama” akhir-akhir ini sering kali kita dengar riuh dibincang, didengungkan bahkan dipampang dalam spanduk-spanduk berupa seruan aksi massa. Fenomena ini menurut saya bukan hal yang keliru. Boleh-boleh saja selama masih berjalan pada koridor yang tepat dalam memposisikan Ulama sebagai pemandu jalan untuk menyerap ilmu-ilmu khususnya ilmu keagamaan.

Media-media dalam penyampaian ilmu-ilmu keagamaan,  dakwah kini semakin beragam. Tidak cukup dengan pengajian di majlis-majlis ta’lim, media televisi (khususnya di subuh Hari)  materi-materi dakwah juga makin gencar disebar melalui media sosial seperti YouTube dan lain sebagainya.

Temuan survey Nasional mengenai sikap dan prilaku keberagamaan di sekolah dan Universitas yang dirilis PPIM UIN Jakarta pada tahun 2018 menyebutkan bahwa   Generasi Millenial khususnya siswa dan mahasiswa paling Banyak mengakakses internet terutama media sosial sebagai sumber pengetahuan agama, angkanya mencapai 50,89 persen. Disusul dari referensi buku dan kitab sebanyak 48,57 persen, televisi 33,73 persen dan dari majelis taklim sebanyak 17,11 persen.

Apa yang terjadi dengan fenomena ini? Efisien, fkeksibilitas, serta kemudahan akses internet merupakan alasan mengapa sumber pengetahuan agama di internet umumnya melalui ustadz/ustazah dan website mampu menggeser otoritas tradisional Ulama yang menyampaikan dakwah secara konvensional melalui majelis taklim.

Parahnya, situs situs yang banyak diakses oleh Millennial sering kali tidak disaring, dipilah sumber apalagi melakukan analisis mendalam terhadap konten yang disampaikan. Masih dalam  hasil survey yang sama menyebutkan situs yang paling banyak diakses sebagai sumber mendapatkan pengetahuan keagamaan antara lain: NU Online sebanyak 25,51 persen, menyusul eramuslim.com sebanyak 18,88 persen, Hidayatulloh.com 17,28 persen, voa-islam.com 12,24 persen, suaramuhammadiyah.id sebanyak 10,71 persen, arrahmah.com 9,57persen, salary.or.id 3,70 persen, nahimunkar.com 2,23 persen dan panjimas.com sebanyak 0,64 persen.

Baca juga : Ulama’ Guru Bangsa: Meneguhkan Pancasila untuk NKRI Tercinta

Pemblokiran situs situs (beberapa diantaranya situs yang disebutkan di atas) oleh Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika sempat menuai pro dan kontra. Sebagian berpendapat bahwa situs tersebut menyebarkan konten-konten negatif yang mengarah pada radikalisme, terorisme yang berkedok ajaran agama yang keliru ditafsir. Sementara mereka yang kontra bersandar pada pendapat kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi.

Tidak terlepas dari persoalan di atas mengenai konten serta maraknya ceramah-ceramah yang disampaikan oleh mereka yang disebut “Ulama”  (bahkan muncul juga istilah Ulama Instant yaitu mereka yang namanya dikenal karena sering muncul di media sosial, menyeru dan bertindak kontroversial sehingga mudah menjaring pengikut atau pembenci (dengan sama-sama menyebarkan, meng-amini atau bahkan mencaci) secara penampilan menyesuaikan dengan berjubah, bersurban, berkopiah.

Hanya sedikit saja mereka membincang soal-soal ilmu agama dengan menyatir ayat-ayat dan hadis sebagai pembenaran atas apa yang hendak disampaikan. Mereka tak luput menyeru soal politik- negara sistem khilafah, menyebut yang berseberangan dengan mereka sebagai thogut dan menyeru pada “Amar Makruf, Nahi Munkar” dalam versi yang teramat berseberangan dengan nilai-nilai keagamaan yang berkasih sayang, toleran, mencintai tanah air, serta hal-hal baik yang diwariskan para Nabi, Sahabat dan Alim Ulama setelahnya.

Mereka menyeru pada Jihad. Tapi mereka lupa mengkontekskan, mengaktualisasikan Jihad di era kekinian sperti Jihad melawan korupsi, perusakan lingkungan, melawan kemiskinan, kebodohan karena rendahnya pendidikan. Mereka justru melihat musuh utama adalah sesama manusia yang dianggap berseberangan dengan pemikirannya. Sungguh hal ini sangatlah fatal.

Maka, pentingnya menyaring, memilah, memilih, menganalisis konten-konten, seruan yang disampaikan oleh mereka yang disebut Ulama adalah suatu keharusan bagi Millennials. Pun dari sisi lain, mereka yang harusnya dijadikan panutan, Ulama-ulama moderat dengan sanad keilmuan yang bersumber dari ajaran Rahmatan lil Alamin, yang tegas namun tetap menjunjung kesantunan, menebarkan nilai-nilai perdamaian, sudah tidak boleh diam saja dan terpaku pada media konvensional untuk berdakwah.

Sebab kemunkaran tidak hanya terjadi karena makin banyaknya bertebaran ajaran yang sudah tidak sesuai, namun juga karena diamnya orang-orang yang harusnya menjadi panutan kebaikan dengan ilmu-ilmu, pemahaman keagamaan  yang harusnya disampaikan dengan kedamaian, kesejukan, keramahan, kontekstual dan mudah diterima dan dipahami Millenial.***Allohualambissowab

Maia Rahmayati

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago