Salah satu yang memberikan kontribusi dalam berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah para ulama. Mereka di berbagai pelosok desa dan juga di berbagai belahan kota melakukan perlawanan sengit terhadap penjajah. Usai penjajah “minggat” dari bumi Nusantara, mayoritas ulama’ kemudian mendirikan pondok pesantren untuk mendidik anak bangsanya.
Para ulama’ tak bisa dilepaskan dari jama’ahnya. Pola pergerakan dan pelayanan kepada publik selalu menyesuaikan apa saja kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat. Jangan sampai NKRI ini dibajak, karena ulama akan selalu berada di barisan terdepan. Para ulama menjadi salah satu ilham perjuangan ulama’ untuk terus berinovasi dalam menjaga NKRI, apalagi di tengah kecamuk teknologi informasi yang makin canggih sekarang. Dalam posisi ini, ulama adalah guru bangsa yang setia melayani dan mengadvokasi.
Dalam konteks kebangsaan, ulama’ harus semakin meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara. Usaha mengganti dasar negara tanpa rujukan yang jelas secara ilmiah, selama ini terus membanjiri kalangan dunia maya. Di sini, sosok KH As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo yang mendapat gelar pahlawan nasional tahun 2016 sangat tepat menjadi rujukan dan referensinya. Kiai As’ad melihat bahwa Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolak. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid, qul huwa Allahu ahad. Penafsiran Pancasila pun harus dikaitkan dengan pembukaan UUD 1945 alinea ketiga: Atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa. Karena itu, menurut Kiai As’ad, kita sebaiknya tidak memisahkan keyakinan tauhid umat Islam dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Bagi Kiai As’ad, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam. Namun, kalau masyarakat menjalankan nilai-nilai syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, hal ini menjadi idaman bagi setiap muslim. Karena itu, bagi Kiai As’ad, Pancasila bisa menjadi potret Piagam Madinah di zaman modern ini. Insya Allah akan ditiru oleh negara-negara lain.
Baca juga : Perlunya Kaderisasi Ulama Berwawasan Kebangsaan
Ijtihad politik Kiai As’ad ini menjadi monumen sejarah yang sangat besar. Pancasila yang menjadi perdebatan sejak sebelum kemerdekaan, awal kemerdekaan, di dalam sidang Majlis Konstituante, dan awal pemerintahan orde baru, akhirnya menjadi “titik temu” yang bisa diterima semua kalangan, khususnya umat Islam. Ijtihad Kiai As’ad bersama para kiai besar saat itu (KH Masykur, KH Ali Maksum, dan KH Mahrus Aly) menjadi keputusan Munas Alim Ulama’ NU di Situbondo pada 21 Desember 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo, yang tak lain adalah pesantren Kiai As’ad sendiri.
Keputusan Munas Alim Ulama’ tahun 1982 inilah yang menjadi referensi utama umat Islam dalam menerima Pancasila. Peran Kiai As’ad sangat besar, bukan hanya ide, gagasan saja. Ia juga menjadi tuan rumah yang memberikan pelayanan istimewa bagi para ulama’ untuk meneguhkan perannya dalam membangun bangsa dan negara.
Kiai As’ad bukan kiai yang hanya duduk di kursi ngaji, tetapi kiai yang sangat serius dalam memikirkan masa depan bangsanya. Kesehariannya memang mengajar santri, tetapi jiwa kebangsaannya terus terpanggil untuk selalu hadir memberikan sumbangan yang terbaik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kiai As’ad tidak lahir di Indonesia, tetapi di perkampungan Syi’ib Ali, Mekkah, tahun 1897. Walaupun begitu, karena hidup di alam Indonesia, Kiai As’ad sangat cinta terhadap Indonesia, apalagi leluhurnya adalah para ulama Nusantara. Jasa-jasanya sangat besar, tetapi ia tak mau duduk dalam kursi kekuasaan. Ia tetap konsisten dalam jalur hidupnya: mengajar santri di pesantren.
Menjaga Pancasila
Di awal orde baru, perdebatan ihwal asas tunggal bernama Pancasila menguras energi sangat besar bagi umat Islam Indonesia. Kebekuan antara kelompok Islam dan negara berlanjut tanpa solusi yang jelas. Semua saling mengklaim paling benar, titik temu sulit didapatkan. Di sinilah, spirit keulamaan seperti Kiai As’ad berperan sangat penting. Awal tahun 1980-an, Kiai As’ad mencairkan kebekuan itu semua. Tangan dinginnya mampu menjadi titik temu antara kelompok Islam dan negara, sehingga semua saling bersama-sama untuk merajut persaudaraan demi Indonesia tercinta.
Menurut KH Fathurrozi (2016), salah satu warisan KH As’ad Syamsul Arifin yang monumental adalah penerimaannya terhadap asas tunggal Pancasila. Padahal waktu itu banyak sekali ulama yang menolak asas Islam digantikan dengan asas Pancasila. Sedangkan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto terus memaksakan agar asas tunggal Pancasila dalam berpartai dan organisasi sosial kemasyarakatan. Kiai As’ad berinisiatif mencairkan ketegangan itu dengan menemui Soeharto. Karena asas Pancasila itu kan urusan bernegara, di akhirat tetap Islam.
Masduki Baidlowi (2016) melihat bahwa niat Soeharto menerapkan asas tunggal Pancasila tak lepas dari kondisi pada era sebelumnya. Soeharto berkesimpulan, salah satu sebab utama mengapa Orde Lama tidak bisa membangun untuk menyejahterakan rakyat tak lain adalah cekcok antarpartai politik yang berlatar belakang ideologi. Pertemuan Soeharto dengan Kiai As’ad didasari sebuah kepentingan saling membutuhkan. Soeharto perlu figur untuk menjembatani tersampaikannya konsep yang dia buat kepada ulama-ulama dan aktivis Islam, butuh pintu untuk menggelindingkan asas tunggal supaya dapat diterima. Sedangkan Kiai As’ad tak ingin umat bentrok dengan pemerintah. Di situlah Kiai As’ad jadi jembatan penghubung strategis.
NKRI Masa Depan
Prof. Nur Syam (2016) menegaskan bahwa peran ulama memiliki sumbangan sangat siginifikan dalam menegaskan Pancasila sebagai dasar negara, serta menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi. Ulama yang seringkali disebut sebagai kiai tradisional ternyata memiliki jiwa dan semangat kebangsaan yang tidak ada taranya.
Ini berangkat dari sebuah kesadaran sejarah bahwa gerak langkah ulama dan santri tak pernah surut dalam membela dan menjaga NKRI. Sejak sebelum kemerdekaan, peran ulama’ sangat nyata dan terasa.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments