Narasi

Ulama-Umaro dan Amanah Perdamaian

Semua yang ada di dunia ini wajib untuk bersama-sama menjalankan amanah kekhalifahan: yakni mewujudkan kemaslahatan publik. Baik pemimpin, ulama’, dan rakyat, harus bersama-sama untuk  bekerjasama dalam menciptakan kemaslahatan dan perdamaian. Kalau ada yang bergerak di luar garis perjuangan, maka akan lahir kegoncangan dan kekerasan publik. Akan tetapi, peran ulama’ dan umaro menjadi paling krusial, karena keduanya mempunyai kedudukan sangat strategis dalam menentuka kebijakan publik.

Inilah yang kemudian Syeikh Abdul Qodir al-Jailani, sufi besar pendiri Tarekat Qodiriyah, menjelaskan bahwa tegaknya agama dan dunia didasarkan pada empat. Pertama, ilmunya ulama. Kedua, adilnya umaro. Ketiga, kedermawanan orang kaya. Keempat, doanya para fakir miskin. Ilmunya ulama dan adilnya umaro menjadi kunci utama, karena keduanya menjadi referensi orang kaya untuk berderma dan keteladanan kaum fakir miskin untuk terus berdoa.

Harmoni ulama dan umaro adalah keniscayaan, apalagi di tengah krisis sosial yang terus berkecamuk. Jangan sampai semua pihak mengatasnamakan diri paham ayat suci, sementara tidak pernah belajar ilmu agama dengan komprehensif. Semua harus kembali kepada ilmunya ulama’. Demikian juga dalam amar ma’ruf nahi munkar, tidak semua pihak bisa melakukannya dengan cara kekerasan. Karena menurut Imam al-Ghazali, kalau ada umaro, maka kewenangan militer ada di tangan umaro. Tidak dibenarkan pihak atau kelompok melakukan cara-cara militer dalam mengambil tindakan.

Di tangan ulama’ dan umaro, ada amanah perdamaian. Semua harus kembali kepada garis dan khittah ini, sehingga terjauhkan dari konflik dan kekerasan. Ini ditegaskan dalam al-Quran.

“Hai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan mereka yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika kamu berselisih mengenai sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul- Nya, kalau kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah yang terbaik dan penyelesaian yang tepat.” (An-Nisaa‘ [4]: 59)

Dalam tafsir Ibnu Jarir ditegaskan bahwa ayat ini turun terkait dengan Ammar bin Yasir yang melindungi seorang tawanan tanpa perintah panglimanya, Khalid bin Walid, sehingga mereka pun berselisih. Ulul amri, atau umaro, adalah orang yang memegang kekuasaan atau orang yang bertanggung jawab, yang dapat mengambil keputusan; mereka yang menangani pelbagai persoalan. Oleh karena di dalam Islam tidak ada pemisahan yang tajam antara soal-soal yang sakral dengan yang sekular, maka adanya suatu pemerintah biasa diharapkan dapat berjalan di atas kebenaran, dan dapat bertindak sebagai Imam yang shalih; benar dan bersih pula. Kita harus menghormati dan mematuhi kekuasaan yang demikian. Kalau tidak segala ketertiban dan disiplin takkan ada artinya.

Sedangkan ulama, al-Quran menegaskan bahwa mereka adalah pewaris Nabi yang meneruskan tugas-tugas kenabian di dunia, yakni membawa kabar gembira, memberi peringatan, mengajak kepada Allah dan memberi cahaya. Ini tegas dinyatakan al-Quran.

“Wahai Nabi! Sungguh Kami mengutus engkau sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai pelita pemberi cahaya. Dan sampaikanlah berita gembira kepada  orang-orang beriman, bahwa mereka akan memperoleh karunia yang besar dari Allah.” (Al-Ahzab [33]: 45-47)

Para ulama adalah penjaga gawang moralitas dalam segala aspek kehidupan umat, termasuk moralitas para penguasa. “Allah telah membeli dari orang beriman jiwa raga dan harta mereka, supaya mereka beroleh taman surga. Mereka berperang di jalan Allah; mereka membunuh atau dibunuh. Itulah janji sebenarnya yang mengharuskan-Nya, dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapa yang lebih menepati janji daripada Allah? Bergembiralah dengan   janjimu yang telah kamu berikan. Dan itulah kemenangan yang besar. Mereka yang bertobat kepada Allah, mereka yang mengabdi, mereka yang  memanjatkan puji, mereka yang mengembara di jalan Allah; mereka yang rukuk, mereka sujud; mereka yang menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan dan menjaga diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah; sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman.” (At-Taubah [9]: 111-112)

Meneguhkan Amanah

Kehidupan yang damai adalah amanah. Sinergi ulama’ dan umaro menjadi kunci utama merealisasikan kedamaian di dunia ini. Ilmunya ulama adalah panduan yang mengantarkan manusia menuju Tuhan, tentu saja ilmu itu menyejukkan dan penuh khidmat, tidak ada kuasa kekerasan. Ini tegas dalam QS al-Fathir, ayat 28: “…sungguh yang benar-benar takur kepada Allah di antara hamba-hambanya, hanyalah ulama; mereka yang berpengetahuan. Sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.” Ilmunya ulama’ inilah yang akan mengantarkan menuju kedamaian. Sementara umaro harus mengacu kepada kaidah fiqh “kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus mengacu kepada kemaslahaan publik”.

Sinergi dan harmoni ulama’-umaro menjadi kekuatan sangat strategis bagi Indonesia untuk mengawal tegaknya NKRI. Dalam konteks meneguhkan harmoni ulama’-umaro ini, ada beberapa agenda yang bisa dilaksanakan. Pertama, menguatkan komunikasi antar keduanya dalam bidang-bidang pembangunan bangsa dan negara. Keduanya saling melengkapi, sehingga komunikasi akan menjadi kekuatan dalam merealisasikan kebijakan negara agar tepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Komunikasi juga menjadi kunci untuk hadirnya masukan, sehingga konflik dan kekerasan bisa dihindari semaksimal mungkin.

Kedua, basis kultural bangsa ini sangat kuat, dan potensinya sangat besar. Di sini, ulama’ dan umaro menjadi sangat tepat untuk duduk bersama rakyat dalam menyelesaikan beragam konflik yang terjadi. Hadirnya ulama’ dan umaro dalam kerja-kerja kultural rakyat menjadi kunci hadirnya kedamaian, ketentraman, dan kebanggaan rakyat.

Ketiga, ulama’dan umaro harus selalu hadir dalam setiap nafas kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat perdamaian dan kerukunan. “salamatul insan fi hifdzil lisan,” selamatnya seseorang karena menjaga lisannya. Ini amanah PBNU pada 7 November 2016 lalu, bahwa semua harus saling menjaga, untuk kedamaian dan keutuhan NKRI.

This post was last modified on 15 November 2016 1:30 PM

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

4 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago