Kebangsaan

Menolak Terorisme, Tapi Menyuburkan Radikalisme

Sungguh ironi, kita sudah menjadi saksi bagaimana kata yang sebenarnya diingatkan oleh Nabi SAW untuk tidak mudah diumbar secara liar saat ini bertebaran bebas di ruang publik. Kafir mengkafirkan seolah menjadi lumrah dan sekaligus menjadi senjata untuk mengutuk orang lain baik berbeda agama, berbeda keyakinan, berbeda aliran dan bahkan berbeda pendapat.

Lumrahnya kata kafir diperjual-belikan di muka umum berjalan beriringan dengan maraknya penanaman kebencian terhadap mereka yang berbeda. Masyarakat Indonesia yang bhinneka dipaksa untuk tidak lagi terbiasa dengan perbedaan. Berbeda itu seolah tabu dan mereka yang berbeda layak dibenci. Kebencian terhadap perbedaan merupakan sumbu munculnya aksi kekerasan.

Jika dulu kata takfir, thoghut, jihad yang disalahartikan itu hanya beredar di kalangan terbatas dalam lingkaran jaringan terorisme, saat ini kata-kata itu dilumrahkan menjadi konsumsi publik. Seorang tokoh saja berani melempar kata kafir di depan umum. Bahkan sungguh ironi, kalimat “bunuh orang kafir” entah sengaja atau tidak seakan muncul sebagai ajakan di muka umum.

Saya sangat sepakat dengan pernyataan Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj yang menegaskan “Indonesia darurat radikalisme”. Terorisme memang ancaman nyata, tetapi ancaman laten yang tidak kalah bahayanya hari ini adalah narasi radikalisme yang berkeliaran di tengah masyarakat. Narasi-narasi radikalisme itu bebas berkeliaran dan media sosial menjadi sarana efektif bagi penyebaran paham dan pemikiran keras seperti itu.

Tahun 2013, BNPT bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga melakukan penelitian di 32 provinsi tentang potensi radikalisme di Indonesia. Hasilnya, masyarakat memang secara tegas menolak terorisme sebagai tindakan kekerasan yang merusak. Terorisme adalah buah pemahaman keagamaan yang dangkal dan didorong oleh ideologi kekerasan. Itu kabar baik. Artinya, tingkat resistensi masyarakat terhadap terorisme cukup tinggi.

Kabar tidak baiknya, narasi-narasi radikalisme yang mendorong dan mentoleransi kekerasan dan terorisme masih banyak mengitari ruang pikiran publik. Narasi-narasi tersebut misalnya; narasi militansi yang menanamkan kebencian terhadap yang lain (the other), narasi keterancaman (Islam under siege) seolah Islam dalam ancaman, narasi teori konspirasi tentang terorisme, narasi umat yang diperlakukan tidak adil dan narasi intolerasi terkait sentiment keagamaan.

Sampai hari ini narasi-narasi bernuansa penanaman pemikiran radikalisme tersebut masih ada, bahkan semakin menguat. Lihatlah hari ini kata kafir bertebaran sebagai doktrin membenci yang lain. Anda mungkin terbiasa di media sosial menemukan hasutan Islam sedang dalam ancaman dan dimusuhi dan diperlakukan tidak adil untuk memancing solidaritas sempit dan fanatisme buta. Narasi intoleran terhadap perbedaan juga semakin menguat. Dan yang paling menggelikan apabila anda membaca berita atau komentar para pengamat yang lucu adalah isu teori konspirasi terorisme yang muncul dipaksakan dalam setiap aksi teror. Pengamat itu tidak hanya melontarkan analisa lucu tentang operasi intelijen, pengalihan isu atau fitnah, tetapi secara tidak sadar ia telah meremehkan terorisme dan tidak simpati terhadap korban.

Walaupun masyarakat tegas menolak terorisme, tetapi apabila narasi-narasi berpotensi radikalisme di atas masih ditolerir bukan tidak mungkin lambat laun kita akan mengamini setiap tindakan teror dan kekerasan. Masyarakat yang setiap hari disuguhi oleh informasi dan berita yang bernuansa radikalisme pada saatnya akan mentolerir kekerasan dan terorisme.

Kenapa kita baru bisa tegas terhadap terorisme ketika aksi itu telah memakan korban, tetapi kita tidak tegas terhadap narasi-narasi yang berpotensi mengarahkan, mengajak dan mengabsahkan tindakan kekerasan dan teror. Kenapa kita juga tidak tegas terhadap mereka yang mengumbar kata kafir, menanamkan kebencian, mengajak kekerasan, dan sering menghasut. Jangan-jangan kita hanya menolak terorisme, tetapi membiarkan bibitnya tumbuh subur. Kita mengutuk terorisme, tetapi kita membiarkan umpatan kebencian, ajakan kekerasan bahkan ajakan membunuh bagi yang berbeda.

Semoga kita tidak terlambat mengutuk terorisme dan ajakan yang mengarah pada terorisme.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

11 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

11 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

11 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago