Narasi

Urgensi Kepemimpinan Santri Menjawab Tantangan Kebangsaan

Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2018 merupakan peringatan yang ke-4 setelah ditetapkan oleh Presiden Jokowi melalui Keppres Nomor 22 tahun 2015 lalu. Peringatan yang bertemakan ‘Bersama Santri Damailah Negeri’ ini harus lebih substansial, bukan hanya untuk mengenang santri pernah ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan saja, tetapi untuk memacu spirit santri untuk terus mengisi kemerdekaan agar sampai pada cita-cita yang diinginkan bangsa ini. Karenanya momentum HSN kali ini harus dapat memunculkan ide, gagasan, dan gerakan perjuangan yang lebih fresh dan sesuai dengan kondisi zaman di era revolusi industri 4.0 ini.

Santri sendiri seperti yang dikatakan Gus Mus yaitu yang mencintai tanah airnya (tempat dia dilahirkan, menghirup udaranya, dan bersujud diatasnya) dan menghargai tradisi budaya-nya. yang menghormati guru dan orang tua hingga tiada (www.nu.or.id). Lebih luas Lukman Hakim dalam sambutannya saat melaunching HSN 2018 mengatakan Santri adalah umat muslim yang memiliki basis pengetahuan memadai dan memiliki cara berfikir terbuka dan menebarkan ajaran Islam dalam mewujudkan kedamaian di tengah-tengah kehidupan (kemenag.go.id). Dari dua pernyataan diatas yang paling penting adalah menjadi santri berarti harus tertanam nilai-nilai perjuangan membela tanah air dan berusaha menjadi problem solving dan agen perdamaian ditengah masyarakat.

Tantangan Kebangsaan

Indonesia adalah negara  yang unik karena masyarakatnya terbentuk dari berbagai macam suku, bahasa, agama, dan budaya yang berbeda namun dapat disatukan dalam satu pandangan dan kemauan untuk merdeka yang kemudian termanifestasikan dalam Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kenyataan demikian menjadi identitas nasional yang telah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dari sinilah kemudian tumbuh toleransi dan solidaritas dalam masyarakat itu sendiri.

Namun jika melihat realitas akhir-akhir ini bangsa Indonesia sedang digoyah persatuan dan kesatuannya dengan berbagai macam persoalan yg muncul, diantaranya : gerakan-gerakan trans nasional, hoax, dan ujaran kebencian.Gerakan trans-nasional muncul membawa ideologi ekstrimis yang seringkali atas nama agama melakukan kekerasan. Sehingga bukan hanya dapat merongrong persatuan tetapi juga dapat merusak citra Islam itu sendiri itu sendiri yaitu Islam yang rahmatan lil alamin.

Baca juga : Kaum Muda dan Narasi Media Sosial

Kemudian, dengan adanya internet dan media sosial yang memberikan kebebasan berselancar dn bertukar informasi seringkali tidak disertai dengan etika komunikasi yang baik. Sehingga banyak menyebabkan pertikaian/konflik antar pengguna dengan saling hujat-menghujat, saling caci maka, dan merendahkan satu sama lain. kondisi seperti ini juga sering dimanfaatkan untuk menyebarluaskan ujaran kebencian dan berita bohong (hoax) yang sengaja diproduksi dengan tujuan membuat gaduh masyarakat maya atau tujuan tertentu lainnya yang dapat melunturkan semangat kebersamaan dan lunturnya sikap ramah pada manusia Indonesia.

Urgensi Kepemimpinan Santri

Berangkat dari realitas diatas maka, peringatan HSN kali ini harus menjadi titik pijak menggelorakan spirit resolusi jihad yang kontekstual. Sekaligus menegaskan eksistensi bahwa santri terus berperan aktif menjaga semangat kebangsaan. Karenanya santri jelas tak boleh menutup mata, apalagi tinggal berdiam diri saja. Santri harus ikut berjuang membumikan perdamaian di dunia nyata maupun dunia maya. Pergerakan santri juga harus lebih luas, menyentuh segala lini dalam masyarkat, termasuk mengisi lokus-lokus strategis dalam kepemimpinan nasional.

Santri punya modal yang kuat dalam kepemimpinan nasional diantaranya : pertama, legalitas sejarah. Sejarah mencatat santri ikut memperjuangkan kemerdekaan yang berarti juga santri harus ikut mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif yang dapat membawa bangsa ke arah perubahan yang lebih unggul. Kedua, keberimbangan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum yang membuat santri dapat lebih objektif dalam melihat persoalan yang terjadi. Ketiga terbiasa dididik  agar memiliki semangat rela berkorban, bertanggungjawab, dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Tidak hanya itu di pesantren santri digembleng agar berperilaku baik sehingga dapat menjadi sosok pemimpin yang berintegritas.

Selanjutnya, santri dididik dengan prinsip Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan nilai-nilai keindonesiaan. Tak heran jika dalam diri santri tertanam prinsip Tawassuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (adil) serta mencintai kearifan lokal yang telah menjadi identitas masyarakat. Modal-modal tersebut-lah yang  menjadikan peran santri urgent dalam kepemimpinan nasional sehingga masalah yang dihadapi dapat terselesaikan dengan cara-cara yang santun dan berwibawa.

Kemudian dalam konteks kepemimpinan nasional, sosok K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur dapat menjadi panutan bagaimana seorang santri ketika memimpin. Gus Dur dalam menjalankan kepemimpinannya selalu berusaha menjaga keutuhan nasional ditengah kondisi yang sangat rentan perpecahan sekalipun. Gus Dur juga sangat terbuka kepada siapapun, terlihat ketika itu Istana Negara boleh dikunjungi siapa saja, dari kalangan atas terlebih kalangan bawah.

 Beliau juga sangat menghargai keragaman, bahkan beliau tak ragu untuk menyuarakan keberpihakannya membela kaum kaum minoritas dan yang tertindas. Karenanya tak mengherankan jika beliau diberi julukan sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Disisi lain Gus Dur juga merupakan sosok pemimpin yang sederhana dan cerdas dalam berfikir maupun bertindak, seringkali gagasannya jauh melampaui zamannya. Kiprah kepemimpinan Gus Dur dengan kesederhanan dan kecerdasan, dan komitmenya merawat Kebhinneka-Tunggal-Ikaan dapat dijadikan pegangan kaum santri dalam menjalankan kepemimpinan ke depan.

Harapannya dengan diperingatinya Hari Santri Nasional yang ke-4 ini santri dapat lebih giat untuk belajar dan melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ke depan kita berharap santri dapat ikut serta mengedukasi masyarakat agar cerdas dan beretika, khususnya dalam bermedia sosial. Dengan begitu media sosial tidak lagi dipenuhi kegaduhan yang dapat memecah belah masyarakat melainkan menjadi alat komunikasi dan bertukar informasi yang ramah dan menyejukkan. Maka sangat memungkinkan ke depan santri akan menjadi role model dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun yang paling penting adalah santri terus berkontribusi membangun negeri.

Moh Zodikin Zani

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

22 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

22 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago