Faktual

Wahabi dan Kerentanan Konflik Sosial : Saatnya Momentum Bersih-bersih Ajaran Pemecah Belah

Aksi unjuk rasa warga Nahdliyin Kabupaten Pamekasan menolak ajaran Wahabi terjadi di depan masjid Usman bin Affan di Nyalabuh. Gerakan ini dipicu oleh viralnya video Yazir Hasan yang menyampaikan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW merupakan ajaran sesat dan tanpa dasar yang kuat.

Tidak hanya itu ia juga menyampaikan bahwa pendiri NU, Kiayi Hasyim Asya’ari menolak keras ajaran Maulid di Indonesia. Diketahui bahwa pernyataan dari Yazir ini diungkapkan pada saat shalat Jumat.

Masyarakat meminta agar masjid ditutup dan melarang ajaran Wahabi di Pamekasan. Mereka juga menuntut untuk bertemu dengan Yassin Hasan sebagai terduga penyebar fitnah yang meresahkan masyarakat.

Kepala Desa Nyalabuh Laok telah memberikan keterangan bahwa masjid Usman bin Affan sudah ditutup dan dilarang digunakan untuk aktivitas apapun. Menurutnya, perizinan masjid tersebut memang bermasalah sejak berdiri satu tahun terakhir.

Sebelumnya, masyarakat Madura, khususnya Pamekasan telah permisif dengan berbagai ajaran termasuk Wahabi. Namun, kesabaran mereka mulai terusik ketika mereka semakin berani menyalahkan, membid’ahkan dan menyesatkan amaliyah. Puncaknya kelompok Wahabi ini mengaitkan dengan tokoh pendiri NU.

Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia pada umumnya terkait penyebaran ajaran dan paham Wahabi yang kerap menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Karakter ajaran mereka yang ofensif terhadap praktek khilafiyah umat Islam menjadi sumbu utama.

Penceramah Wahabi memang kerap menimbulkan keresahan sosial dan kerentan konflik di tengah masyarakat. Tidak hanya di ruang online, tetapi mereka juga menyebarkan melalui mimbar-mimbar agama. Mereka telah lama diberikan panggung kebebasan, tetapi mereka menggunakan untuk kepentingan menyalahkan, membid’ahkan dan menyesatkan persoalan khilafayah.

Kejadian di Madura sebenanya cerminan yang dirasakan oleh masyarakat di beberapa daerah dalam menghadapi penceramah Wahabi di berbagai daerah di Indonesia. Infiltrasi Wahabi di Indonesia sudah bertahun-tahun lamanya yang didiamkan atas nama kebebasan. Namun, pada prakteknya mereka meresahkan masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik.

Apa yang harus disikapi? Sebelumnya, pada menjelang akhir tahun 2022, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) pernah mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah agar melarang ajaran dan paham Salafi-Wahabi. Sayangnya, dorongan ini tidak menjadi perhatian karena sekali lagi atas nama kebebasan beragama. Padahal, sejatinya rekomendasi itu tidak lahir dari ruang hampa. Ada penyebab dan pertimbangan kenapa LDNU mendorong pelarangan penyebaran ajaran dan paham Wahabi.

Selain karena paham ini jelas menjadi daya dorong lahirnya kekerasan yang ditafsirkan lebih ekstrem oleh kelompok salafi-jihadis, ajaran Wahabi pada prakteknya kerap ofensif dan destruktif di tengah keragaman madzhab dalam persoalan khilafiyah. Potensi inilah yang mendorong pada terbukanya ruang kerentanan konflik sosial di tengah masyarakat.

Jika selalu berpatokan atas nama kebebasan, lalu standar keamanan dan ketahanan konflik tidakkah menjadi pertimbangan? Ada pula yang beralasan sebagai bentuk rezimentasi aliran madzhab. Padahal, sejatinya pelarangan Wahabi merupakan bentuk pelarangan terhadap ajaran dan paham yang berpotensi mendorong konflik sosial beragama internal umat Islam.

Kebebasan bermadzhab dan berpikir dalam keagamaan tidak pernah dikekang. Tidak ada pelembagaan madzhab pemikiran Islam di Indonesia. Namun, aturan main tentang penyebaran paham dan madzhab yang dapat menimbulkan konflik sosial harus diatur. Negara sebagai pengatur masyarakat harus mampu mencegah akar dan sumbu konflik yang bernama ajaran Wahabi tersebut.

Kegeraman masyarakat Madura adalah salah satu contoh dari kegemesan masyarakat lainnya yang setiap mendapatkan video ceramah di media online yang bertebaran dengan menyalahkan, membid’ah dan menyesatkan praktek amalan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Praktek amalan ini tentu lahir dari ijtihad para ulama yang turun menurun dilaksanakan. Namun, hadirnya penceramah Wahabi di mimbar offline dan online seakan menjadi pemecahbelah masyarakat saat ini.

Jika negara masih gamang dengan keputusan tegas melarang ajaran Wahabi karena dianggap sebagai kebebasan beragama dan berpendapat, lihatlah dari aspek lain bahwa negara harus mencegah ajaran, pemikiran dan pandangan yang dapat memecah belah masyarakat. Potensi konflik sosial harus dicegah. Dan tidak ada dalil kebebasan dengan mengorbankan keselamatan masyarakat akibat sang pemecah belah.

This post was last modified on 27 Januari 2023 3:56 PM

M. Katsir

Recent Posts

Membongkar Misi JAD; Menjadikan Nusantara Sebagai Provinsi Resmi ISIS

Jamaah Ansharud Daulah alias JAD tidak bisa dianggap sepele. Organisasi yang didirikan oleh Oman Abdurrahman…

17 jam ago

Benarkah Islam Nusantara dan Moderasi Beragama Adalah Agenda Barat untuk Melemahkan Islam?

Kelompok ekstremis itu bergerak di dua ranah. Ranah gerakan yang fokus pada perencanaan dan eksekusi…

21 jam ago

Migrasi ISIS ke Ranah Virtual: Bagaimana Ikonografi Menjadi Medium Pencitraan Ekstremisme?

Beberapa hari lalu, Detasemen Khusus 88 menangkap empat terduga terorisme di Sumatera Utara. Keempatnya diketahui…

21 jam ago

Game Online dan Soft Propaganda: Waspada Cara Baru Meradikalisasi Anak

Perubahan strategi terorisme di Indonesia dan secara global telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mereka…

4 hari ago

Densus 88 Tangkap 4 Pendukung ISIS Penyebar Propaganda Terorisme di Medsos; Bukti Terorisme Masih Nyata

Penangkapan empat pendukung ISIS di Sumatera Barat dan Sumatera Utara oleh Detasemen Khusus (Densus) 88…

4 hari ago

Strategi Perlindungan Ketika Game Online Menjadi Gerbang Radikalisme

Di tengah riuhnya perkembangan teknologi digital, terselip kenyataan pilu yang dialami oleh anak generasi muda…

4 hari ago