Narasi

Warganet dan Buzzer Pancasilais

Jelang kontestasi politik 2019 persebaran dan bangkitnya para akun-akun anonim di media sosial tidak terelakan lagi. Hal itu bisa dilacak karena sistem informasi masyarakat kita yang anonim saat ini sebenarnya tidak kondusif bagi hajat mendasar bangsa ini. Artinya, akun-akun anonim berperan menyebarkan hoaks itu jelas. Akan tetapi, persebaran hoaks bukan hanya terjadi karena ulah akun anonim di media sosial semata. Namun, lebih disebabkan masih tingginya ego sektoral dalam benak warganet (netizen) kita. Dikatakan demikian karena, netizen kita belum bisa beranjak dari watak aslinya yang berkarakter emosional menuju rasional ketika menggunakan media sosial. Dengan kata lain, watak ini kemudian mendasari rasa kebencian terhadap suatu kelompok, tokoh maupun etnis tertentu ketika seseorang menyebarkan hoaks.

Sebut saja, pelaku berbagai bentuk berita hoaks bukan hanya berasal dari para buzzer anonim maupun robot saja. Namun, banyak berasal dari akun-akun asli, baik dari tokoh, politisi, hingga “mantan menteri pemerintahan”. Ironisnya, sebagian dari mereka dikategorikan akun influencer atau “elit politik digital” yang memiliki pengaruh cukup besar dengan dibuktikan oleh raihan follower yang mencapai jutaan digit.

Meski pada akhirnya diantara mereka ada yang meminta maaf kepada publik atas kesalahannya. Namun, dampak yang telah ditimbulkan dari sekedar “asal share” atau “salah pencet” tentulah membuat politik digital kian gaduh. Eksesnya, aksi perundungan (bullying) hingga menyudutkan antar netizen untuk membela pendapat pribadi tidak terhindarkan. Geliat para influenzer yang bertransisi menjadi buzzer inilah, yang turut menyebabkan hoaks semakin mendapat tempat dalam ranah digital. Bahkan, hadirnya UU ITE belum juga mampu mengerem laju persebaran hoaks.

Identifikasi itu kian menegaskan bahwa demokrasi digital telah disesaki oleh para buzzer yang tidak lagi berlandaskan pancasila. Sedangkan, warganet yang menjadi domain utama dan selama ini hanya berkutat mencari informasi, urusan profesi, sosialisasi maupun hiburan diri (Jati, 2017), kian mengalami ekslusi.

Penyebabnya, karena peran buzzer kian dominan dekade terakhir. Pasalnya, selama ini buzzer ditujukan sebagai tim pemasaran (marketing) guna mempromosikan dan mendongkrak produk tertentu kepada khalayak. Namun, seiring perkembangan dunia maya, buzzer kemudian di adopsi dalam ranah politik hingga kemudian ikut bertransisi menjadi buzzer transaksional. Tak jauh berbeda dalam dunia pemasaran, buzzer politik berwatak transaksional difungsikan sebagai tim pencitraan, penyemai figur politik, hingga menjadi alat kampanye negatif dan hitam untuk menyerang lawan politik.

Buzzer pancasilais

Tentulah kita tidak ingin melihat para buzzer transaksional itu terus menanamkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nafas pancasila. Untuk itu, kita harus berupaya menyemai “buzzer pancasilais” yang mampu menjadi kekuatan penyeimbang. Apalagi setiap netizen tentulah mampu menjadi buzzer yang dapat menjadi komunikator digital yang handal dan bermanfaat bagi semua anak bangsa.

Oleh karena itu, melahirkan buzzer pancasilais bisa dimulai dari membangun komunitas digital bagi semua segmentasi komunitas warganet yang ada. Baik itu, komunitas blogger, disabilitas, perempuan, kesehatan ibu dan anak, hingga komunitas marginal di sekeliling kita. Pembelajarannya bisa dimulai dari cara menggunakan media sosial yang bijak, membuat konten yang kreatif, memposting hingga berkomentar dengan bernafaskan nilai-nilai pancasila.

Dengan kata lain, buzzer pancasilais harus memiliki ciri khas tersendiri dalam membangun diskusi partisipatoris hingga kemudian dapat menjadi diskursus yang bukan saja di dunia maya, tapi juga di kehidupan sehari-hari. Sebab, buzzer tentulah dapat menjadi demos selama ia mampu mengedepankan diskusi partisipatoris, argumentatif dan konstruktif dan bukan satu arah apalagi dipenuhi caci maki hingga menyinggung persoalan pribadi. Pada akhirnya, keberadaan buzzer politik telah banyak mendorong partisipasi politik warganet secara aktif dan otonom itu jelas. Namun, menjadi seorang buzzer dengan watak transaksional, apalagi menggunakan robot guna membelokan opini hingga menghancurkan instrumen penting demokrasi—tentulah sifat yang kerdil dan jauh dari seorang pancasilais.

This post was last modified on 7 Agustus 2018 1:51 PM

Bambang Arianto

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

21 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

21 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

21 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

22 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago