Meski tidak pernah bisa benar-benar terlihat secara kasat mata, agama telah tertanam di banyak kepala dan hati manusia, beberapa pakar bahkan sangat yakin bahwa setiap manusia sejatinya beragama. Masalahnya, setiap kepala memiliki isi yang berbeda-beda, karenanya ketika agama yang ‘satu’ itu sampai ke kepala manusia, maka agama itu akan beragam sesuai dengan daya serap dan daya olah kepala masing-masing manusia.
Tuhan bukannya tidak tahu tentang hal ini, lha wong yang bikin kepala itu ya doi. Karenanya ada banyak ayat dalam ajaran-ajaran agama yang menyatakan bahwa Tuhan sengaja menciptakan keberagaman agar kita semua dapat saling belajar dan melengkapi. Ingat ya, belajar dan melengkapi, bukan bertengkar dan saling menghabisi. Tetapi, namanya juga kepala, meski terlihat empuk tapi sangat mudah menjadi keras, kita biasa menyeburnya “keras kepala”. Keyakinan tentang agama yang tertanam dalam kepala tidak jarang mengeras menjadi semacam klaim bahwa hanya kepalanya saja yang paling benar, sementara agama di kepala orang lain salah.
Ketika kepala sudah dipenuhi dengan anggapan bahwa hanya kepalanya saja paling benar, maka di saat itulah masalah sudah mulai menjalar. Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan perubahan pola dari agama yang awalnya dimaksudkan untuk membuat kepala tunduk dan patuh pada tuhan hingga yang membuat kepala justru merasa menjadi tuhan yang sebenarnya.
Tulisan ini ingin mengajak kita semua untuk belajar memahami perubahan pola di atas melalui analogi selimut; sesuatu yang dulu terlihat imut namun kini sudah kusut, selimut!
Cara dan sikap sebagain dari kita dalam memperlakukan agama ternyata tidak terlalu jauh berbeda dengan cara kita memperlakukan selimut, khususnya selimut yang telah menjadi kesayangan sejak masa kecil. Analoginya begini, bayangkan bahwa agama yang sudah menancap di kepala kita adalah selimut yang kita sayangi sejak kecil. Semenjak itu pula tidak pernah sekalipun kita lepas dari selimut itu, namun seiring dengan perjalanan waktu, tubuh kita tumbuh menjadi lebih besar sementara selimut tidak.
Demikian pula dengan agama, ada banyak hal dari agama yang dirasa kurang bisa menjawab tantangan masa kini. Untuk terus-terusan menyatakan hal baru sebagai bid’ah misalnya, justru menunjukkan bahwa kita tidak siap hidup di jaman yang serba baru ini. Imaji tentang kejayaan masa lalu dan keinginan untuk kembali ke masa itu adalah bukti bahwa sebagian besar isi kepalanya sudah beku.
Begitu pula dengan selimut kesayangan, ia dulu selalu cukup untuk menghangatkan badan mulai dari ujung kepala sampai kaki, tapi kini ia bahkan sudah begitu kesulitan untuk sekedar nutupin daki. Karenanya hanya ada tiga pilihan untuk deal dengan keadaan ini. Yakni;
Pilihan tentu tergantung pada kita; percaya pada agama tentu adalah hal yang baik, tetapi terlalu fanatik pada agama hanya akan membuat kita tidak realistik. Selimut yang kita sayangi sejak kecil hanyalah sedikit analogi untuk menggambarkan bahwa beragama tidak semestinya dilakukan secara pasif; menerima segalanya tanpa pernah bertanya. Meski demikian, agama yang diturunkan Tuhan berabad-abad silam tidak serta merta dapat disebut sebagai murni produk masa lalu, karena ia mengalami perkembangan sesuai dengan daya serap dan daya olah manusia.
Sekarang pilihan ada di tangan kita, silahkan pilih yang mana. Saya sih pilih nomor tiga!
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…