Editorial

Agama, Primordialisme dan Kebhinekaan

Indonesia merupakan negara-bangsa (nation-state) yang ditegaskan dalam satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsep negara-bangsa semula diintrodusir oleh negara Barat dan diadaptasi oleh berbagai negara saat ini, termasuk Indonesia.  Konsep ini sebenarnya bukanlah hal baru. Bahkan jauh sebelum teori modern negara bangsa dicetuskan, komunitas Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad merupakan negara yang berlandaskan kebhinekaan agama, suku, dan bahasa yang terikat dalam satu perjanjian yang dikenal dengan Piagam Madinah.

Begitu pula Indonesia, negara ini dibangun di atas perjanjian dan kesepakatan para pendiri bangsa dari berbagai latar etnis (kesukuan), kultur, bahasa, dan wilayah (geografis). Para pendiri bangsa Indonesia termasuk di dalamnya para pahlawan, ulama dan tokoh pemimpin organisasi keagamaan telah berijtihad dan menyepakati pilihan bentuk negara kesatuan yang menjamin keragaman agama, suku, etnis, kultur, dan bahasa. Terbukti konsep ini mujarab dalam merekatkan tali persaudaraan warga negara yang terdiri dari ragam latarbelakang dengan menanggalkan ego sekterian dan ikatan primordialisme.

Tanpa sadar harus kita akui, dewasa ini, tampaknya primordialisme justru semakin menguat di berbagai pelosok Tanah Air Indonesia. Bentuk primordialisme bisa berwujud dalam berbagai latar belakang baik kebangaan terhadap kesukuan, ras, agama, kelompok, partai, fraksi, maupun golongan. Kontestasi politik yang tidak dilandasi oleh rasionalitas dan kedewasaan elit dan masyarakat justru menimbulkan ruang baru bagi tumbuhnya parade primordialisme dan sekterianisme. Padahal, menguatnya primordialisme ini sangat berbahaya bagi kemajuan bangsa karena dapat mencabik kebhinekaan masyarakat dalam sudut superiotas identitas yang dibanggakan.

Dalam pergaulan sosial politik, menguatnya primordialisme menyebabkan diskriminasi dengan cara menciptakan imajinasi individu atau masyarakat kelas satu dan berlapis. Akibatnya akan muncul perlakuan kelompok berdasarkan identitas primordial yang menciptakan pola hubungan dominasi dan subordinasi, mayoritas dan minoritas serta superioritas dan inferioritas. Inilah yang bertentangan dengan konsep hubungan negara bangsa yang menjamin seluruh perbedaan dalam kesetaraan.

Salah satu bentuk primordialisme yang dewasa ini semakin diruncingkan adalah primordialisme berbasis keagamaan. Masyarakat digiring pada satu kondisi yang dipenuhi dengan luapan kebanggaan terhadap identitas keagamaan ternetu. Bangga terhadap identitas keagamaan saja tidak menjadi persoalan. Tetapi sikap bangga dengan cara merendahkan dan mengancam keamanan yang lain itu yang menjadi persoalan. Parade primordialisme keagamaan di ruang publik tentu tidak masalah. Namun, parade yang menyuguhkan emosi keagamaan yang dapat menggerus rasa persatuan dan kebhinekaan itu menjadi persoalan lain.

Praktek primordialisme yang akut akan mengarah pada sikap ekslusif. Sikap ekslusif yang akut mengarah pada paham ekslusivisme dalam bentuk monopoli kebenaran dan pemaksaan kehendak yang tidak menghormati perbedaan. Sikap anti kebhinekaan tersebut tidak saja bertentangan dengan konsep negara yang sudah disepakati oleh para pendiri bangsa tetapi sejatinya bertentangan dengan cara Tuhan merekayasa kehidupan umat manusia. Kebhinekaan adalah cara Tuhan menciptakan hubungan interaktif antar manusia dalam harmoni.

“Tuhan menciptakan manusia dan membagi-baginya ke dalam bangsa-bangsa dan suku-suku untuk saling mengenal dan bahwa terdapatnya bermacam-macam bahasa dan warna kulit tersebut merupakan tanda-tanda bagi orang mengetahui, atau bahwa keberagaman merupakan sesuatu yang absah karena Jika Allah mau, Dia dapat menciptakan kamu sekalian sebagai satu umat saja” (QS. asy-Syura [42]:8).  Dalam ayat yang lain ditegaskan “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sikap primordialisme tidak hanya bertentangan dan mengancam kebhinekaan tetapi mengancam ritme sunnatullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang beragam. Karenanya kita sampai pada hikmah kebhinekaan bahwa perbedaan adalah rahmat Tuhan bagi seluruh makhlukNya.

 

This post was last modified on 26 Mei 2017 9:37 AM

Redaksi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago