Narasi

Ajaran Toleransi Enam Agama di Indonesia

Ajaran toleransi menjadi pijakan kokoh dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Keenam agama resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, sama-sama mengandung nilai-nilai toleransi yang mendalam, yang menarik untuk didiskusikan dan serta juga penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam ajaran Islam, toleransi diwujudkan melalui konsep “ukhuwah Islamiyah” (persaudaraan Islam) atau ”ukhuwah insaniyah” (persaudaraan sesama umat manusia). Selain itu, sebagai pedoman umat Islam, Al-Qur’an menekankan pentingnya hidup berdampingan dengan damai dan menghormati perbedaan keyakinan. Surah Al-Kafirun (109:6) menyatakan, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat ini menunjukkan prinsip saling menghormati dan tidak memaksa orang lain untuk mengikuti kepercayaan tertentu.

Kemudian, dalam Al-Quran Allah Swt juga berfirman: ”Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa (Qs. Al-Hujarat: 13). Dalam ayat ini sangat jelas bahwa keberagaman adalah fitrah Tuhan, dan tugas kita adalah menghargai dan hidup berdampingan dengan semuanya. 

Dalam agama Kristen dan Katolik, sebagai agama-agama Abrahamik, keduanya juga menekankan cinta kasih dan perdamaian dalam menjalani hidup. Ajaran Yesus Kristus yang menyuruh umatnya untuk “mencintai sesamanya seperti mencintai diri sendiri” menciptakan landasan bagi toleransi. Para pengikutnya diajarkan untuk menerima perbedaan dan berusaha hidup berdampingan dalam kedamaian, sebagaimana dicontohkan dalam Kitab Injil.

Demikian juga dalam Hindu, sebagai agama mayoritas di Bali dan sebagian Jawa, Agama Hindu juga mengajarkan toleransi melalui konsep “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda tapi tetap satu”. Ajaran ini mendorong pengikutnya untuk menghormati keberagaman dan memahami bahwa setiap kepercayaan memiliki kebenaran masing-masing. 

Begitu pula dengan agama Buddha, melalui ajaran Siddharta Gautama, agama ini juga menekankan pemahaman dan kedamaian batin sebagai fondasi toleransi. Konsep karma dan siklus reinkarnasi mendorong pengikut Buddha untuk menghormati semua makhluk hidup tanpa memandang latar belakang agama dan etnis. Dalam ajaran Buddha, kesadaran dan pengendalian diri merupakan kunci utama menuju perdamaian dan toleransi.

Sementara dalam agama Konghucu, sebagai ajaran filsafat dan moral, juga menekankan pada etika dan hubungan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat. Ajaran Confucius mengajarkan kesopanan, hormat-menghormati, dan keadilan sebagai fondasi bagi kehidupan beragama yang toleran. Konsep “Ren,” atau kasih sayang, mendorong pengikut Konghucu untuk bersikap bijaksana dan memperlakukan sesama dengan penuh kebaikan.

Pemerintah Indonesia, dengan dasar Pancasila yang juga memberikan landasan kuat untuk toleransi antarumat beragama. Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” mencerminkan semangat toleransi dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga, Pancasila ini bisa dikatakan sejalan dengan semangat Toleransi enama agama resmi yang ada. 

Dalam konteks Indonesia, keberhasilan menjaga toleransi antarumat beragama juga melibatkan upaya untuk membangun pendidikan agama yang inklusif. Kurikulum pendidikan agama seharusnya memasukkan pemahaman mendalam mengenai keyakinan lain, mengajarkan nilai-nilai toleransi, dan merangsang pemikiran kritis agar generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang terbuka dan penuh pengertian terhadap perbedaan.

Dengan menginternalisasi nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam keenam agama resmi Indonesia, masyarakat dapat membentuk budaya saling menghargai dan hidup berdampingan secara damai. Toleransi bukan hanya menjadi prinsip moral, tetapi juga menjadi kekuatan pengikat yang menjaga persatuan di tengah keragaman identitas dan keyakinan.

This post was last modified on 4 Desember 2023 12:54 PM

susi rukmini

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

2 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

2 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

2 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

3 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

3 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

3 hari ago