Categories: Kebangsaan

Akar Radikalisme Global

Terorisme telah menyebabkan banyak manusia tidak berdosa menjadi korban, tindakan dan kebiadaban sekelompok orang atau sebuah organisasi pemuja kekerasan tersebut kerap mengatasnamakan agama, meski tidak ada satu agama pun yang mempunyai ajaran dan paham radikal dan paham teror-meneror, dan juga tidak satu agama pun yang terkait dengan terorisme. Adanya tafsiran yang bersifat monopoli terhadap pesan-pesan dalam agama, diperparah dengan dangkal dan kakunya cara memahami pesan agama, serta absennya pendekatan yang holistik dan komprehensif, menyebabkan seseorang sangat mudah menjadi radikal, yang pada gilirannya nantinya dapat ‘naik pangkat’ menjadi teroris.

Munculnya aksi teror, anarkis, dan ekstrimis pada banyak tempat di banyak negara belakangan ini didasari oleh menyeruaknya tendensi yang berbeda; penembakan terhadap siswa yang menewaskan 13 orang dan menyisakan 20 orang lainnya luka-luka di kampus Umpqua Community College, Roseburg, Oregon, pada Kamis pagi, 1 Oktober 2015 lalu misalnya, merupakan wujud nyata dari aksi terorisme. Dimana peristiwa yang menjadikan warga Amerika sebagai “mesin pembunuh massal” itu disebabkan oleh kesenjangan yang lebar antara tendensi untuk mewujudkan “Mimpi Besar Amerika,” dan “fakta Amerika”, yaitu antara apa yang diharapkan Amerika dan apa yang sesungguhnya mereka dapatkan. Survei nasional yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa tingginya keinginan memiliki senjata di Amerika muncul dari keinginan untuk melindungi diri dari tirani, dan tirani yang sesungguhnya adalah keinginan untuk melindungi diri dari “Mimpi Besar Amerika.”

Penyalahgunaan obat terlarang dan maraknya aksi begal, termasuk juga dalam kategori terorisme. Menurut wakil gubernur DKI, Djarot Saiful Hidayat dalam acara penerimaan rekor MURI kepada BNPT pada tanggal 1 Oktober 2015 lalu.

Terorisme lahir dari ibu kandung radikalisme, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa orang menjadi larut dan terperosok dalam sebuah pusaran radikalisme – dalam arti keinginan mewujudkan perubahan dengan cepat, dengan menggunakan kekerasan atas nama agama ? Pertanyaan inilah yang tidak memiliki jawaban tunggal, diketahui bersama bahwa seseorang menjadi ‘radikal’ karena faktor kekecewaan, ketidak adilan, kemiskinan, termarjinalisasi, dsb. Itu di antara penyebab seseorang menjadi radikal secara nasional, khususnya di Indonesia.

Narapidana teroris misalnya, yang merasakan ketidakadilan dengan kasus konflik komunal yang melibatkan kelompok umat beragama di Maluku divonis seumur hidup, ia menganggap vonis yang dijatuhkan kepadanya merupakan sebuah ketidakadilan hukum, alasannya adalah mereka beraksi pada tahun 2002, namun mereka divonis dengan undang-undang tindak pidana terorisme yang dibuat pada tahun 2003. Secara logika sederhana, sepintas dapat dinyatakan bahwa itu merupakan prilaku ketidakadilan, namun tentu tidak serta merta dianulir, harus melalui proses pembuktian serta proses hukum lainnya dalam rangka melakukan peninjauan putusan hukum tersebut, agar keadilan selalu tampil di garda terdepan sebagai panglima.

Demikian pula narapidana teroris lainnya yang merasa dimarjinalkan atau merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah, mereka rawan memiliki sikap kecewa terhadap pemerintah dan negara, yang pada akhirnya melahirkan sikap teror. Di sisi lain, tidak sedikit masyarakat kita yang juga merasakan ketidakadilan, kekecewaan, termarjinalkan serta tidak memperoleh akses mendapatkan lapangan kerja –yang membuat mereka tidak memiliki penghasilan memadai– namun mereka tidak melakukan aksi teror dan anarkis, karena terorisme dan anarkisme tidak dapat menyelesaikan banyak persoalan kebangsaan.

Penyebab utama lahirnya radikalisme secara global atau akar radikalisme global adalah arogansi negara adidaya yang memainkan standar ganda, sebagaimana yang dipertontonkan Amerika Serikat yang menekan khususnya umat Islam di banyak negara yang sedang berkembang seperti negara-negara Timur Tengah, yang pada gilirannya membuat kelompok- kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror. Apa yang terjadi di Syiria, Iraq, Afghanistan, Palestina, Tunisia, Yaman, dan seterusnya, dipandang sebagai campur tangan Amerika, Israel, dan sekutunya. Aksi teror dianggap sebagai pembalasan atas campur tangan Amerika dan sekutunya, termasuk di Indonesia.

Arogansi negara adidaya beserta sekutunya, itulah akar utama yang menyebabkan lahirnya radikalisme yang berimbas pula kepada negara-negara kawasan Asia termasuk negara Indonesia. Menghadapi fenomena tersebut, jalan keluar yang bisa ditempuh salah satunya adalah persatuan dan kesatuan negara-negara kawasan Timur Tengah yang harus diwujudkan, bukan seperti yang saat ini, sesama negara tetangga saling memerangi. Saudi Arabia beserta sekutunya menghantam Yaman yang dibackup oleh Iran, demi mempertahankan golongan atau aliran yang sama-sama merasa benar sendiri, belum lagi  konflik internal urusan politik dalam negeri, seperti yang terjadi di Mesir, Syiria dan Iraq.

Hal itulah yang menjadikan negara adidaya dengan mudah menghasut dan menunggangi negara-negara Timur-Tengah, dan menyiapkan persenjataan modern agar tetap saling memerangi antara satu negara dengan negara tetangga, atau antara satu kelompok dan gerakan dengan kelompok dan gerakan lainnya dalam wilayah negara yang sama. Selain itu, negara adidaya yang memproduksi persenjataan secara besar besaran selalu berharap agar peperangan berlanjut terus menerus, karena jika tidak terjadi peperangan, stok persenjataan yang diproduksi tidak akan ada yang mempergunakan.

This post was last modified on 5 Oktober 2015 1:25 PM

Irfan Idris

Alumnus salah satu pesantren di Sulawesi Selatan, concern di bidang Syariah sejak jenjang Strata 1 hingga 3, meraih penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2008 sebagai Guru Besar dalam bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar. Saat ini menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT.

Recent Posts

Fikih Siyasah dan Pancasila, Membaca Ulang Negara yang Berketuhanan

Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…

7 jam ago

Perihal Fatwa Memilih Pemimpin Seakidah: Kemunduran Demokrasi dan Kemandulan Ijtihad

Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…

7 jam ago

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

1 hari ago

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…

1 hari ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

1 hari ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

2 hari ago