Dalam khazanah pewayangan orang mengenal yang namanya Bathari Durga. Ia menjadi penguasa para makhluk terkutuk dan menjijikkan laiknya hewan. Keratonnya dikenal sebagai Pasetran Ganda Mayit (padang berbau mayat).
Sebermulanya Durga adalah Bathari Uma, isteri dari sang penguasa Triloka, Bathara Guru. Suatu ketika sepasang dewa-dewi itu nganglang jagat (mengudara) dengan menunggangi Sapi Andini di angkasa, dan tiba-tiba timbullah syahwat Sang Guru. Tapi Uma tak mau melayaninya. Di tengah berahi yang membuncah mengucurlah sperma Sang Guru yang sudah tak tertahankan ke lautan.
Atas penolakan itu Sang Guru pun murka dan kemudian mengutuk Uma menjadi raseksi berparas buruk dan bernapas bacin. Karena merasa dipaksa untuk meladeni syahwat Sang Hyang Jagat Giri Nata atau Bathara Guru, Uma juga mengutuk balik pemimpin para dewa itu sehingga lehernya menjadi berwarna biru (baca: menelan ludah sebagai sebentuk reaksi kemanusiaan atas hal yang memancing syahwat). Karena itulah Bathara Guru juga dikenal sebagai Sang Hyang Nila Kantha, yang bermakna orang luhur atau orang suci yang pikirannya cabul.
Sperma yang meluber ke lautan (kamasalah) akhirnya menjadi seorang raksasa yang diberi nama Bathara Kala, di mana kelak menjadi salah satu anak sekaligus pemuas berahi Sang Durga di Pasetran Ganda Mayit.
Sebagian besar kekacauan dunia, konon, disebabkan oleh bujuk-rayu seorang Durga pada Bathara Guru. Atas sifat gampang dirayu dan didikte oleh sang ratu kejahatan itulah Bathara Guru diberi nama pula sebagai Sang Hyang Jagat Pratingkah atau orang suci di mana pergolakan dunia seturut dengan pergolakan angannya, sebab ia adalah yang menjadi penguasa yang sesungguhnya.
Baca Juga : Spirit Puasa untuk Kemenangan dan Kebangkitan Nasional
Tapi lain sekutu Guru-Durga lain Semar dan para titah sawantah atau masyarakat yang tak mudah untuk dikelabuhi. Dalam jagat pewayangan hanya Semar seorang yang disegani oleh Durga. Begitu bertemu atau melihat Semar tak ada yang dapat dilakukan oleh Durga kecuali kewirangan. Seperti ketika Durga, atas keinginan sang putra angkat sekaligus kekasih gelapnya, Dewa Srani (orang sabrang), merayu Bathara Guru untuk merusak pager ayu Dewi Dresanala dengan Arjuna, karena Dewa Srani menginginkan putri Dewa Brahma itu untuk menjadi isterinya—yang tentu saja merupakan perbuatan yang menyalahi tatanan Triloka meskipun Guru sendiri adalah penguasa utamanya. Atas segala persekutuan jahat itu Semar hanya membimbing dan mengarahkan si buah hati Arjuna-Dresanala, Wisanggeni, untuk mengobrak-abrik kayangan dan membuat wirang para dewa.
Dengan berangkat dari kisah pewayangan, saya kira secara simbolis kisah politik hari ini adalah kisah persekutuan Guru-Durga belaka. Sejak kasus covid-19 menjadi isu terpenting jagat politik Indonesia, beberapa isu yang terkait dengannya sengaja digulirkan untuk membuat jagat bertingkah, atau setidaknya begitulah harapan mereka. Beberapa waktu yang lalu, di tengah geliat hangat pengajuan gugatan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ke MK yang dilakukan oleh “golongan biru” para mantan tokoh Muhammadiyah, para aktifis penegak HAM mendadak juga seperti memiliki indera pembauan tajam. Diam-diam, dan setelah mereka memproblematisasikan berbagai kebijakan pemerintah terkait corona dengan mengatasnamakan masyarakat (Menimbang Efektifitas PSBB, Darurat Kesehatan Masyarakat, dan Kemungkinan Darurat Sipil atas Penanganan Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org), mengendus pula draft perpres tentang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme yang saat ini sedang diajukan pemerintah ke DPR. Alasan mereka tetap sama: atas nama “kebebasan masyarakat” dan “HAM.” Belum lagi berbagai reaksi “golongan merah” dan sebagainya terkait dengan BPJS.
Satu hal yang pasti, ternyata jagat tak bertingkah, berbagai kebijakan pemerintah terkait corona tetap berjalan terus, perpu covid-19 sudah menjadi UU, draft perpres terkait pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme masih tetap dalam pertimbangan DPR. Dan tentu saja, masyarakat yang sering mereka bawa-bawa dalam semua upaya itu, sama sekali tak ada yang menggubris. Hingga terkadang saya pun bertanya, masyarakat yang mana yang sesungguhnya kerap mereka klaim untuk wakili? Dan benarkah semua itu atas nama masyarakat? Seandainya benar klaim mereka itu lantas kenapa masyarakat yang sering mereka dengung-dengungkan tak ada satu pun yang bertepuk?
Pada titik ini, sebagai bagian dari masyarakat, saya pun terkadang muak dengan klaim besar “atas nama masyarakat” semacam itu. Tanpa itu semua pun banyak dari kita yang tetap hidup seperti biasanya: bekerja, cari makan, berobat dengan biaya sendiri, mengaji, menimang anak, dst. Atas semua peristiwa itu, satu hal yang patut disimpulkan, bahwa suara akar-rumput bukanlah suara yang seenaknya dapat dibeli dan dimanipulasi, termasuk oleh mereka yang konon katanya berorientasi pada akar-rumput itu sendiri.
Tanpa bermaksud untuk membela pemerintah, terkadang manusia memang merasa malu untuk mengakui kepentingannya pribadi sehingga menggunakan masyarakat sebagai “tutup” atas segala permainan riuh rendah Bathara Guru dan Durga. Narasi dan wacana memang milik mereka berdua, tapi dalam diam Semar dan golongannya adalah yang nyata.
Hampir setahun yang lalu saya sempat ngobrolngalor-ngidul dengan para petani. Saya sempat bertanya pada mereka, “Adakah aktifis yang turun dan ikut membina sampeyan, Pak?”
Sebelum memperoleh jawaban, saya pun dikagetkan dengan pertanyaan balik yang tak sempat saya mencari jawabannya. “O, tukang gawe jumbleng niku napa, Mas?”
Saya sempat berpikir bahwa jumbleng adalah tempat buang berak di pedesaan Jawa. Adakah kaitannya antara aktifis dan tempat buang hajat? Sungguh tak ada kuasa pada saya untuk menjawabnya.
Saya sebenarnya tak terlalu peduli pada tetek-bengek berbagai tata perundangan dan konsekuensinya, boleh atau tidaknya TNI untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme, isu seputar militer dan masyarakat sipil (Nalar Publik, Pandemi Corona, dan Kehidupan Masyarakat Sipil Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Tapi pengatasnamaan “kebebasan masyarakat” dan “HAM” selalu saja menggelitik nalar saya. Dan tentu saja saya tak pernah mengaitkan keempat peristiwa yang hampir berbarengan di atas sebagai sebuah upaya untuk mencari panggung yang sebenarnya tak pernah ada penontonnya.
Berbagai kebijakan pemerintah terkait corona tetap berlangsung sampai hari ini tak peduli pokok-pokok keberatan para aktifis HAM itu. Dan tentu saja masyarakat, yang mereka coba wakili atau setidaknya yang mereka klaim untuk wakili, tak terlalu hirau pula. Kehidupan tetap berjalan sebagaimana biasanya. Adakah hal ini berarti sebuah kewirangan bagi mereka? Sekali lagi, tak ada kuasa pada saya untuk menjawabnya.
Pada beberapa esai saya pernah pula mempertanyakan paradigma para aktifis tersebut tentang demokrasi, masyarakat sipil, dan HAM yang tak sedikit pun berubah sejak saya mengenal bangku kuliah (Menimbang Efektifitas PSBB, Darurat Kesehatan Masyarakat, dan Kemungkinan Darurat Sipil atas Penanganan Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org dan Corona, Kebijakan Lockdown, dan Uji Kelayakan Nalar Publik Tentangnya, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Daripada tak ada yang menonton aksi panggung mereka dan daripada mereka kewirangan, maka dalam hal ini saya kira orang mesti belajar tentang makna bulan puasa yang hingga detik ini telah sampai di penghujungnya: benarkah ini semua lillahi ta’ala?
This post was last modified on 21 Mei 2020 8:27 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…