Beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan oleh pemberitaan tentang disegelnya masjid Ustman bin Affan di Pamekasan, Madura. Penyegelan oleh pemerintah desa itu merupakan buntut dari protes warga atas isi khotbah Jumat yang disampaikan khotib bernama Yazir Hasan. Dalam khotbahnya, ia menyebut bahwa KH. Hasyim Asyarie yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama dan pesantren Tebuireng, Jombang mengingkari peringatan maulid Nabi Muhammad.
Khotbah itu pun menuai kontroversi. Masyarakat sekitar masjid yang notabene merupakan warga Nahdliyin merasa tersinggung atas isi khotbah tersebut. Mereka pun ramai-ramai menuntut ditutupnya masjid yang diketahui menjadi sarang penyebaran ajaran Wahabi tersebut. Tidak hanya itu, masyarakat juga berniat melaporkan Yazir Hasan ke pihak kepolisian atas isi khotbahnya yang meresahkan.
Peristiwa ini bisa jadi hanyalah puncak dari fenomena gunung es penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia. Dalam beberapa tahun belakangan kita melihat sendiri bagaimana infiltrasi ajaran Wahabi secara masif membanjiri ruang publik kita. Metode penyebarannya pun beragam. Mulai dari mendirikan institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Menggunakan sarana teknologi digital seperti media sosial. Sampai menjadikan masjid dan mimbar khotbah sebagai corong untuk menyebarkan ajarannya.
Ciri-ciri Pemikiran Wahabi
Ironisnya, kelompok Wahabi ini pandai berkamuflase. Ketika istilah Wahabi sudah kadung berkonotasi negatif di tengah umat, kini mereka melabeli diri sebagai “salafi”. Istilah ini dipakai untuk membangun citra bahwa seolah mereka adalah pengikut ajaran salafusshalih. Padahal, kenyataannya cara pandang dan perilaku keberagamaan mereka tidak merepresentasikan ajaran para salafussalih.
Merujuk pada Khaled Abou el Fadl dalam bukunya Sejarah Wahabi dan Salafi; Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitannya di Era Kita, pemikiran Wahabi yang merujuk pada Ahmad bin Abdul Wahab dicirikan oleh setidaknya enam karakter. Pertama, pola pikir yang tekstualis yakni menganggap teks keagamaan (Alquran dan Sunnah) sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Kedua, corak penafsiran teks keagamaan yang literal-harfiah, dalam artian menafsirkan dalil keagamaan secara rigid dan kaku tanpa berupaya membangun tafsir yang relevan dan kontekstual dengan kondisi zaman. Ketiga, mengklaim diri sebagai kelompok yang paling benar dan suci serta paling merepresentasikan kehendak Tuhan.
Keempat, menolak ajaran dan praktik spiritualisme Islam (tasawuf) dan menganggapnya sebagai syirik. Kelima, bersikap anti pada akulturasi antara ajaran Islam dan kearifan lokal. Keenam, mudah menuding kelompok yang berbeda dengan label bidah, sesat, bahkan kafir.
Doktrin Wahabi inilah yang ditengarai menjadi akar bagi gerakan radikal-ekstrem yang marak terjadi dunia Islam saat ini. Bahkan, Karen Amstrong menyebut bahwa semua gerakan ekstrem-teroris di dunia Islam modern memiliki keterkaitan dengan doktrin Wahabi yang rigid dan kaku. Itulah mengapa kita harus waspada terhadap infiltrasi paham Wahabi yang kian merajalela belakangan ini.
Mengapa Wahabi Tidak Cocok untuk Indonesia?
Doktrin Wahabi ini tidak cocok diterapkan di Indonesia karena tiga alasan. Pertama, mayoritas umat Islam di Indonesia memiliki karakter moderat (washatiy) yang berafilisasi dengan ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua, corak keislaman yang berkembang di Indonesia cenderung berbeda dengan Timur Tengah. Di Indonesia, ajaran Islam mengalami akulturasi dengan budaya lokal sehingga melahirkan ekspresi keberagamaan yang unik khas Nusantara. Doktrin Wahabi yang puritan cenderung tidak adaptif pada corak keislaman Nusantara yang kental dengan nuansa tradisi dan budaya lokal.
Ketiga, Indonesia sendiri merupakan negara majemuk. Meski Islam merupakan negara mayoritas, namun kenyataannya ada banyak entitas agama lain yang eksis di negeri ini. Klaim kebenaran yang eksklusif ala kaum Wahabi ini rawan menimbulkan praktik intoleran.
Kembali ke penyegelan masjid Ustman bin Affan karena muatn khotbah yang menyinggung, hal itu tentu patut diapresiasi. Sekali lagi ditekankan bahwa penyegelan itu dilakukan oleh pemerintah desa, jadi bukan dilakukan oleh kelompok sipil. Artinya, penyegelan itu dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas dan masyarakat sipil tidak main hakim sendiri dalam hal hal. Perilaku demikian ini wajib diapresiasi tentunya.
Masyarakat harus berperan aktif mengawasi ruang publik, termasuk masjid dari infiltrasi paham Wahabi. Masyarakat harus sigap menutup ruang kaum Wahabi agar tidak leluasa dalam menyebarkan doktrin-doktrinnya.
This post was last modified on 27 Januari 2023 3:54 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…