Narasi

Beginilah Nasib Puasa Para Penyebar Hoax

Puasa pada dasarnya adalah madrasah hati agar bisa menahan diri dari segala bentuk kemaksiatan. Betapa tidak, puasa mensyariatkan menahan dari melakukan perbuatan halal, semisal makan-minum dan berkumpul dengan pasangan sah, semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari. Yang halal saja harus ditinggalkan apalagi yang maksiat.

“Bukanlah maksud syari’at puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja. Dalam puasa haruslah bisa mengendalikan syahwat dan memenej jiwa agar memiliki hati yang tenang. Jika tidak bisa melakukan seperti itu, maka Allah tidaklah menerima puasa tersebut.” (Fath Al-Bari, 4: 117)

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang ditahan.” (HR. Bukhari).

Dalam kitab Fath Al-Bari dituliskan bahwa konsekuensi dari hadits tersebut, siapa saja yang melakukan dusta yang telah disebutkan, balasan puasanya tidak diberikan. Pahala puasa tidak ditimbang dalam timbangan karena telah bercampur dengan dusta dan yang disebutkan bersamanya.

Hoax Sebuah Tantangan

Di era teknologi ini, hoax merupakan kedusataan yang sudah merajalela. Penyebaran hoaks yang begitu masif itu juga semakin diperkuat oleh hasil survei tentang literasi digital nasional 2020 yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Survei yang dilakukan di 34 provinsi tersebut menyatakan 68,4 persen dari 670 responden   pernah menyebarkan informasi tanpa mengecek kebenarannya.  Sementara itu, 56,1 persen tidak mampu mengenali informasi hoaks. (kompas.com).

Survei Katadata Insight Center (KIC) yang bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta SiBerkreasi pada tahun 2020 menemukan kisaran 60 % orang Indonesia terpapar hoax. Setidaknya 30% sampai hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara hanya 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali hoaks. (liputan6.com).

Sementara, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) merilis survei tentang informasi palsu (hoax) yang tengah marak di Tanah Air. Dari hasil survei itu, diketahui media sosial menjadi sumber utama peredaran hoax. (liputan6.com).

Sehingga dari sini, hoax merupakan tantangan terberat dalam menjaga kualitas puasa umat muslim sekarang. Lisan memang sudah tidak banyak bicara namun jari-jari tangan menjadi penyambung lidah yang justru lebih berbahaya. Dengan memberikan informasi yang tidak benar di media sosial saja bisa mencelakakan orang banyak. Bahkan, dengan banyaknya konten hoax di media maya maka peluang besar para netizen menyebarkan lebih besar.

Nabi Muhammad SAW memberikan resep agar manusia dapat terhindar dari melakukan hoax. Ia memerintahkan, “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Dalam praktiknya, masyarakat pengonsumsi informasi media digital harus selalu crosscheck (memeriksa kembali) kebenaran informasi yang didapat. Dengan begitu, masyarakat bisa mengetahui kepastian kebenaran informasi yang ada. Apabila tidak bisa mengetahui kepastian kebenaran informasi tersebut, maka cara yang dapat dilakukan adalah tidak menyebarkan kepada orang lain.

Kendati demikian, praktik tidak segera menyebarkan informasi yang datang kepada dirinya adalah perjuangan yang berat. Karena, orang yang memberikan informasi lebih awal daripada orang lain merupakan prestasi tersendiri. Sehingga, orang yang mendapatkan informasi baru ingin segera menginformasikan kepada orang lain, bahkan saat dirinya belum sempat menyimak informasi secara utuh yang kepada dirinya.

Dan di bulan suci Ramadhan ini umat muslim mesti bisa berjihad memerangi hoax di media maya. Bagi para pembuat konten hoax mestinya segera sadar bahwa apa yang dikerjakan hanya akan merugikan diri, baik di dunia maupun di akhirat. Ingat bahwa nasib puasa Anda dipertanyakan dengan membuat konten hoax. Sementara, bagi para netizen harus selalu crosscheck informasi yang datang kepada dirinya sebelum ia pedomani atau share kepada rekan pengguna media maya lainnya. Dengan begitu, semoga nasib puasa kita bisa diterima oleh Allah SWT.

Wallahu a’lam.

This post was last modified on 13 April 2021 2:14 PM

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Tabayyun sebagai Kearifan untuk Menghadapi Propaganda

Pergesekan antar ormas (organisasi kemasyarakatan) yang terjadi di Pemalang, serta konflik senjata yang terjadi antara…

18 jam ago

Waspada Karakter Fasik di Era Digital: Menyaring Informasi, Menyelamatkan Persatuan

Di era digital yang dibanjiri informasi, sikap kehati-hatian dan bijak menjadi kebutuhan pokok. Bayangkan, setiap…

18 jam ago

Kekeliruan Istilah Ulama “Pribumi” vs Ulama “Impor”

Wacana yang memisahkan ulama menjadi “pribumi” dan “impor” adalah konstruksi sosial yang lemah secara historis…

18 jam ago

Anak dalam Jejaring Teror, Bagaimana Menghentikan?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…

4 hari ago

Peran Penting Orang Tua dalam Melindungi Anak dari Ancaman Intoleransi Sejak Dini

Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…

4 hari ago

Ma-Hyang, Toleransi, dan Kesalehan dalam Kebudayaan Jawa

urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…

4 hari ago