Belakangan ini, masyarakat Indonesia, terutama dalam hal komunikasi, sudah mulai tidak terkontrol lagi. Kemajuan teknologi dan informasi justru menyebabkan kemerosotan moral di berbagai lini kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara serta berbangsa. Dalam media sosial misalnya, perkataan seseorang tidak bisa terkontrol lagi. Ironisnya, orang yang memiliki peran penting sekaligus panutan dalam beragama justru melakukan berbagai provokasi, agitasi, dan menebar kebencian terhadap kelompok tertentu yang tidak sepaham dengan mereka. Seolah mereka merasa yang benar dan berdasarkan dalil-dalil Alquran dan hadis. Bahkan, di ruang privat seperti majlis pengajian dan sejenisnya, masih ada sosok panutan yang sengaja membakar emosi kelompoknya dan seolah membenarkan segala bentuk tindakan radikalisme dan sejenisnya.
Berangkat dari sinilah, tulisan ini berusaha menggali pola komunikasi yang diajarkan oleh Alquran dan hadis. Sebab, tidak banyak manusia yang mampu memahami dan sekaligus menerapkan komunikasi dengan baik dan benar, terutama komunikasi secara lisan. Hal ini terbukti, perkataan-perkataan yang menghina dan menjatuhkan masih saja dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita. Bahkan, cara berkomunikasi masyarakat kita sudah jauh dari etika, sehingga perkataan yang muncul lebih banyak yang menfitnah, menghujat dan membully antar sesama, saling kafir-mengkafirkan.
Dalam bingkai itulah, tulisan ini hendak memberikan pengetahuan yang kemudian bisa dijadikan sebagai bahan acuan dalam kehidupan sehari-hari bagaimana etika dan cara berkmunikasi dengan baik dan benar, sesuai dengan ajaran dan nilai Islam.
Pola Komunikasi dalam Alquran
Dalam Islam, komunikasi memeliki arti penting dalam menjalani kehidupan beragama dan bersosial-masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan perhatian Alquran terhadap etika komunikasi, yang secara eksplisit ada dalam ayat-ayat Alquran itu sendiri dan juga hadis Nabi. Secara umum, Islam menekankan etika komunikasi yang berakhlak karimah, sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.
Pertama, Qaulan Balighoh (perkataan yang berbekas pada jiwa) (An-Nisa’:62-63). Al-Maraghi (1943) mengaitkan “Qaulan Balighoh” dengan sifat rasul (tabligh). Lebih lanjut, al-Maraghi menegaskan bahwa Nabi Muhammad diberi mandate Allah untuk menyampaikan risalah berupa peringatan kepada umatnya dengan perkataan yang menyentuh hati manusia. Kemudian, Ashiddiqi (1977) dalam tafsirnya Tafsir al-Bayan Jilid I memberikan uraian perkataan yang dimaksud dalam ayat tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah sebuah kebenaran.
Kedua, Qaulan Kariman (perkataan yang mulia) (Al-Isra’:23). Maksudnya adalah sebuah perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang baik lagi bermanfaat bagi pihak lain tanpa merendahkan orang lain tersebut. Ayat ini menegaskan etika komunikasi anak kepada orang tua. Orang tua, sekalipun tingkat pendidikan dan ekonomi lebih rendah, sang anak tetaplah “budak” dan orang tua adalah “majikannya”. Maka, sekalipun orang tua berumur lanjut dan dengan segala pola perilakunya, sang anak tidak boleh
Pandangan atau tafsiran lebih mendalam terkait ayat di atas diungkapkan oleh Sayyid Quthb. Beliau memberikan tekanan bahwa yang dimaksud qaulam karim bukan sekedar berkata baik minus makna, melainkan dalam konsep qaulam karim terdapat makna penghormatan, penghargaan, dan pengagungan. Kalau diilustrasikan, perkataan yang mulia ini bak ucapan budak yang bersalah, memohon maaf dan sejenisnya di hadapan majikannya.
Ketiga, Qaulan Maisuran (perkataan yang mudah) (QS. Al-Isra: 28). Banyak sekali komunikasi yang justru menjadikan komunikan tersinggung atas perkataan komunikator. Bahkan, secara psikologis, komunikan merasa kecewa dan bahkan bisa putus asa. Dalam masyarakat, kasus seperti ini sangat lazim terjadi. Bahkan, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) ayat ini adalah ketika orang-orang dari Muzainah meminta Rasulullah supaya mereka diberi kendaraan untuk berperang fi sabilillah. Kemudian Rasul pun menjawab: “Aku tidak mendapatkan lagi kendaraan untuk kalian.” Lantas orang dari Muzainah itu berpaling dengan raut muka yang muram berlinang air mata karena mereka menganggap perkataan Rasulullah itu sebagai bentuk kemarahan beliau terhadap mereka. Maka, turunlah ayat ini (QS. Al-Isra: 28).
Jika diambil pesan moral, maka ayat ini dengan gamblang memberikan pedoman kepada kita agar ketika berkomunikasi, kita memperhatikan dengan seksama lagi mendalam tentang jika kita belum bisa memberikan hak kepada orang lain (yang diajak bicara), maka maka katakanlah kepada mereka perkataan yang baik, lemah lembut agar mereka tidak kecewa dan tersinggung (salah paham) lantaran mereka belum mendapatkan bantuan atau apa yang diharapkan mereka dari kita. Ini menuntut dipraktikkannya seni komunikasi sedemikian rupa.
Singkat penejalasan, sebagaimana diungkapkan oleh Irpan Kurniawan (2011), bahwa qaulan maisyuran itu perkataan yang baik yang di dalamnya terkandung harapan akan kemudahan sehingga tidak mudah membuat orang lain kecewa atau putus asa. Jadi, qaulan maisyuran tidak sekedar perkataan biasanya, melainkan seperti perkataan seorang motivator yang mampu memberikan optimisme kepad orang lain. Inilah salah satu kehebatan Alquran.
Keempat, Qaulan Ma’rufan (perkataan yang baik), (QS. An-Nisa: 5). Ketika Alquran menggunakan term ini, maka makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa perkataan yang baik itu dapat diterima oleh semua masyarakat. Oleh sebab itu, perkataan yang baik di dalamnya harus mengandung unsure nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa ayat ini menitikberatkan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan baik. Jadi, dalam poin ini, isi tidak begitu diperhatikan, yang diperhatikan justru caranya menyampaikan sesuatu itu. Dengan demikian, Alquran menginginkan agar pola kmonikasi manusia dijalankan dan diterapkan atas dasar membangun komunikasi yang beradab.
Sebagai penguat etika komunikasi dalam bentuk ini, ada sebuah hadis yang sejalan dengan Qaulan Ma’rufan, yaitu falyakul khairan au liyasmut (katakanlah bila benar kalau tidak bisa,diamlah). Salah satu criteria baik adalah mengatakan sesuatu yang benar, berdasarkan fakta, bukan asumsi atau fitnah seperti berita hoax.
Senada dengan itu, Nabi Muhammad berpesan:“ Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang…yaitu mereka yang menjungkirkan-balikkan fakta (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya”. Berdasarkan hadis ini, ada pesan mendalam bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami. Inilah yang disebut pola etika komunikasi Qauan Ma’rufan.
Keenam, Qaulan Sadidan. Kata “qaulan sadidan” disebut dalam Alquran, diantaranya QS. An-Nisa: 9. Secara jelasnya, arti qaulan sadidan adalah pembicaraan yang benar, jujur, luruh, tidak bohong dan tidak menyesatkan. Kemudian, para ulama tafsir seperti Quraish Shihab, merumuskan prinsip perkataan yang benar dalam Alquran adalalah yang mengandung beberapa unsur, yaitu jujur, faktual, rujukannya jelas. Dengan demikian, seorang komunikator dalam komunikasi Islam haruslah mengindahkan etika berkomunikasi yang digariskan dalam islam, yaitu: bersikap jujur, menjaga akurasi pesan-pesan (pesan akurat ), bebas dan tanggung jawab.
This post was last modified on 10 Maret 2017 9:51 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…