Categories: Keagamaan

Berbangsa-bangsa adalah Sunnatullah

Indonesia merupakan negara-bangsa (nation-state) yang ditegaskan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsep negara-bangsa yang semula diintrodusir oleh kalangan barat dan diadaptasi oleh berbagai negara saar ini sebenarnya bukanlah hal baru. Konsep negara bangsa berdasarkan pada tolok ukur etnis (kesukuan), kultur, bahasa, dan wilayah (geografis), yang semuanya bersifat plural yang mendiami satu wilayah kesatuan.

Para pendiri bangsa Indonesia termasuk di dalamnya para ulama dan tokoh pemimpin organisasi Islam telah berijtihad dan menyepakati pilihan bentuk negara kesatuan ini dengan ragam perbedaan agama, suku, etnis, kultur, dan bahasa. Terbukti konsep ini menjadi manjur dalam merekatkan tali persaudaraan warga negara yang terdiri dari ragam latarbelakang.

Memang sangat ironis, ketika ada pendatang baru yang tidak mengerti sejarah bangsa ini apalagi mengalaminya begitu lantang menolak konsep baku yang telah teruji lama dalam rentang sejarah republik ini. Kenapa kalangan ini begitu sering mempertanyakan konsepsi kebangsaan kita? Bukan hanya mempertanyakan bahkan kadang menyalahkannya atas dasar agama.

Saya kira perdebatan kelompok saat ini yang menginginkan Indonesia sebagai negara berlandaskan agama (baca Islam) telah lupa dengan sejarah bangsa ini. Perdebatan saat ini pun tidak sedahsyat bagaimana para pendiri dan ulama pada masa awal mendiskusikan bentuk negara ini dengan penuh hati-hati demi menjaga keutuhan bangsa. Para ulama sangat bijak dan tidak gegabah mementingkan primordialisme di atas keutuhan bangsa ini.

Pertanyaan mendasar yang ingin dipecahkan adalah betulkah Islam tidak mengenal dan menghormati komunitas berbangsa-bangsa. Benarkah Islam memaksakan seluruh umat manusia dalam wujud yang seragam? Benarkah Islam merumuskan konsep negara monolitik?

 Islam Berwawasan Kebangsaan

Dalam konsep politik, Islam tidak merumuskan secara kongkret bentuk negara, sistem pemerintahan dan kelembagaan politik tertentu yang dicap sebagai sistem yang “islami”. Lihatlah berbagai bentuk khalifah, kerajaan, kesatuan, bahkan federasi merupaka produk ijtihad, bukan landasan nash qoth’i. Di situlah kelenturan Islam. Islam menyerahkan pelembagaan nilai dan subtansi ajaran Islam kepada ijithad manusia. Subtansi ajaran Islam yang harus termuat dalam lembaga politik tersebut adalah nilai keadilan, musyawarah, penegakan hukum, kebebasan dan kesetaraan.

Islam mempunyai sejarah penting yang dapat mengayomi berbagai masyarakat dengan perbedaan entitas kebangsaan. Komunitas (baca:negara) Madinah yang di bawah pimpinan Rasulullah menjadi komunitas pertama dengan kewarganegaraan yang majemuk dan latar penduduk yang plural. Di Madinah, masyarakat hidup dengan damai dan sejahtera. Berbagai suku Arab Quraisy, suku Arab Islam dari wilayah lain, suku Arab Islam asli Madinah, Yahudi penduduk Madinah, dan suku Arab yang belum menerima Islam. Seluruhnya dapat hidup berdampingan.

Prasasti historis Madinah ini merupakan bentuk awal dari konsep nation state yang sederhana. Perbedaan suku dan keyakinan dapat hidup rukun dan harmonis dengan jaminan kesamaan hak dan perlindungan dari komunitas yang sangat tinggi. Fakta ini sungguh mematahkan narasi argumentasi kelompok sebagian Islam yang ingin mengusung kehidupan bernegara yang homogen.

Argumentasi historis tersebut diperkuat dengan beberapa landasan doktrinal dalam Qur’an. Banyak sekali ayat yang mendukung bahwa perbedaan dan pluralitas di dalam masyarakat sudah merupakan sunnatullah. Perbedaan merupakan rekayasa Allah SWT agar kita saling mengenal (Q.S. al-Hujurat/49:13). Tentu saja memaksakan kehendak dan memenyeragamkan keberagaman manusia merupakan tindakan yang menyalahi sunnatullah.

Di dalam ayat lain, Allah SWT lebih tegas menekankan bahwa perbedaan setiap umat sudah dirancang sedemikian rupa: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. (Q.S. al-Maidah/5:48).

Perbedaan bukan saja sebuah keniscayaan tetapi sunnatullah. Keragaman berbangsa adalah “disain ilahy” yang harus dirawat dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa yang harmoni. Tugas manusia bukan memaksakan keragaman menjadi keseragaman, tetapi menjadikan keragaman dalam kesatuan yang harmonis. Mari berlomba-lomba untuk kebaikan, bukan untuk keburukan.

This post was last modified on 2 Februari 2016 4:55 PM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

5 hari ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

5 hari ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

5 hari ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

5 hari ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

5 hari ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

6 hari ago