Narasi

Bergesernya Paradigma Kosmologis Jawa

Adalah seorang keturunan Madura, Trunajaya, yang sempat menumbangkan kekuasaan kesultanan Mataram yang dalam sejarahnya pernah tercatat sebagai pemerintahan tiran dan despotik (bedhahing Plered). Ribuan ulama yang merupakan simpatisan Giri Kedaton dieksekusi oleh Amangkurat I yang dikisahkan memiliki kehidupan yang hedonistik—bahkan ia sempat pula berebut perempuan, Rara Oyi, dengan salah satu anaknya: Amangkurat II.

Trunajaya, yang secara harfiah bermakna “kejayaan orang muda,” merupakan seorang ksatria-santri di masa sekarang. Dalam perlawanannya terhadap kesultanan Mataram, ia pernah mencari suaka pada Panembahan Kajoran di Bayat, Klaten. Adapun Panembahan Kajoran sendiri merupakan putra dari Panembahan Agung di Ponorogo dan menjadi menantu dari trah Sunan Bayat. Tak sekedar mendapat pengayoman, Trunajaya dinikahkan pula dengan salah seorang putri Panembahan Kajoran. Tersebab pemberontakan itulah, barangkali, sampai sekarang di Jogja tak ada satu pun jalan yang dinamakan jalan Trunajaya sebagai sebentuk penghargaan atas kepahlawanannya.

Berkaca pada kisah pemberontakan Trunajaya pada kesultanan Mataram di bawah kekuasaan Amangkurat I, maka sesungguhnya orang sedang membicarakan penolakan orang-orang Jawa Timur pada dominasi kesultanan Mataram. Sebelum bedhahing Plered, selama lima tahun kesultanan Mataram berupaya untuk menghancurkan independensi orang-orang Jawa Timur setelah sebelumnya menghabisi wilayah pasisiran sebagai aliansi utama Surabaya. Saya kira ketika orang sedang membaca kembali ekspansi Mataram ke Jawa Timur, tak sekedar membaca sebuah penundukan tata politik belaka, tapi juga tata spiritual-kultural atau yang dapat saya istilahkan sebagai tata kosmologis (Demak dengan Luwes Mengadopsi Tata Spiritual-Politik Mandala, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Salah satu tata kosmologis yang dipaksakan kesultanan Mataram adalah konsep “raja titising dewa” (raja sebagai titisan dewa) dan konsep raja sebagai selain seorang pemimpin politik adalah juga seorang pemimpin agama (“Sayidin Panatagama”)—di mana di era HB X sekarang ini, yang bernama asli Herjuno Darpito, telah dihilangkan. Di era Demak dan Walisanga kekuasaan politik dan agama tersebut dipilah: kekuasaan politik ada pada Raden Patah (kasultanan Demak) dan kekuasaan agama ada pada Walisanga.

Baca Juga : Merawat Akal Sehat Publik di Sosial Media

Setiap ras ataupun suku pasti memiliki superioritas atas ras ataupun suku lainnya. Di kesultanan Mataram superioritas tersebut dimanifestasikan pada mitologi-mitologinya, seumpamanya istilah dan eksistensi sabrangan (orang-orang luar daerah atau liyan ndrayan) dalam kisah wayang kulit maupun wayang wong (“Njawani” yang Salah Kaprah, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Ataupun pengasosiasian Jogja sebagai “Ayodya” yang merupakan kerajaan mitis Sang Rama Wijaya yang bijaksana pada kisah Ramayana. Atau pula pengasosiasian orang-orang Jogja sebagai orang-orang Mataram, yang berarti “mot-arum” (berbau wangi), dan “ngeksi ganda” yang bermakna “menghirup atau membau”—termasuk pula idealitas soal “tamansari dunia.”

Orang-orang Jawa sendiri, di masa silam, sebenarnya sudah mewariskan apa yang disebut sebagai “jangka” atau pola kala (Mahapralaya: Seputar Wayang, Gempa dan Tsunami, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Dan saya juga menemukan apa yang dapat disebut sebagai numerologi Jawa, bahwa pada aksara Jawa hitungan angka hanya berawal dari angka 1 sampai 0 (nol) yang merupakan penghabisan. Karena itulah dalam sastra sengkalan, angka 0 (nol) selalu diasosiasikan dengan istilah “ilang,” “sirna,” “murca,” “muksa,” “suwung,” “kosong,” ataupun “pralaya” yang berarti kehancuran.

Wacana tentang pemindahan ibu kota Indonesia yang pernah bergulir beberapa bulan yang lalu, di mana kini beringsut menjadi kenyataan, secara kultural seolah menjadi penanda tentang sudah bergesernya apa yang saya sebut sebagai paradigma kosmologis Jawa. Dengan kata lain, saat inilah—secara kultural—akhir dari kesultanan Mataram. Justru, yang menjadi “pusat” (punjer) negara Indonesia bukan lagi pulau Jawa yang selama ini dibangga-banggakan, tapi wilayah apa yang dahulu oleh orang-orang Jawa sendiri disebut sebagai wilayah sabrang.

Munculnya beberapa “kerajaan” akhir-akhir ini yang sempat menghebohkan ruang publik Indonesia seolah menjadi pelampiasan atas memudar dan bergesernya paradigma kosmologis Jawa tersebut. Pemangkasan gelar HB X yang dilakukannya sendiri, secara simbolik, seperti menandakan bahwa eksistensi raja dan kerajaan sudah tak bisa seperti dulu lagi. Maka, tinggallah orang-orang yang merasa pantas untuk mengganti jejer sang Sultan beserta tata kosmologis yang tak lagi dapat diembannya.

Heru harjo hutomo

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago