Narasi

Bersatu Mencegah Infiltrasi Radikalisme di Kampus

Radikalisme di lingkungan civitas akademika mestinya tidak akan pernah terjadi. Pasalnya, anggota rumah tangga perguruan tinggi merupakan orang-orang yang terpelajar, luas ilmu, luas pengalaman, dan selektif. Sementara, tindak radikal mestinya hanya dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dangkal, pengalaman sempit, dan sembarangan dalam bertindak. Namun demikian, yang terjadi adalah, kampus sering kali menjadi salah satu “klaster” penyebaran virus radikalisme, bahkan terorisme.

Kenyataan betapa kampus merupakan salah satu tempat penyebaran virus radikalisme dan terorisme mesti mendapat perhatian khusus. Karena, bagaimanapun, kenyataan ini merupakan perkara yang aneh dan sangat berbahaya di masa mendatang. Bagaimanapun kampus merupakan agen perubahan (agen of change) di mana nasib bangsa dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan berada di tangan para mahasiswa sekarang. Ketika mahasiswa saat ini bisa mengoptimalkan kesempatan sehingga mampu menimba ilmu dan pengalaman yang cukup, maka saat merekan memegang kendali kekuasaan di masa mendatang akan dengan mudah memberikan manfaat bagi sesama. Sebaliknya, jika para mahasiswa sudah terpapar virus radikalisme dan terorisme, maka dampak negatif bukan saja akan ditunai di masa mendatang namun juga sejak sekarang.

Civitas akademika mesti melakukan introspeksi terhadap keluarga besar yang ada di dalamnya. Jangan sampai ada benih-benih radikalisme dan terorisme berada di dalam tubuh mereka. Apalagi benih-benih tersebut dibawa oleh oknum dosen yang mengajar di kampus tersebut. Karena, dengan adanya benih-benis seperti ini, maka infiltrasi pun tidak akan dapat dikendalikan dengan baik. Dipastikan ia akan menyebarkan virus radikalisme dan terorisme kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, tak terkecuali para mahasiswanya.

Tidak sedikit mahasiswa yang kepribadiannya masih labil sehingga mereka sangat butuh pendampingan dari orang-orang dewasa yang mampu mengarahkan ke jalan yang lurus. Salah satu sosok yang menjadi penuntun dan pengarah hidupnya adalah dosen serta senior di kampusnya. Ketika terdapat dosen atau senior yang secara massif menanamkan virus radikalisme dan terorisme secara persuasif kepada mahasiswa labil tersebut, maka ia akan dengan mudah menerimanya. Lebih-lebih, para dosen dan senior membalut penanaman virus radikalisme dan terorisme dengan dalil-dalil agama dengan iming-iming kenyamanan kehidupan nyaman di alam baka.

Dari kenyataan ini, maka langkah pertama yang bisa dilakukan oleh civitas akademika agar terbebas dari penyebaran virus radikalisme dan terorisme adalah dengan menetralisir seluruh sumber daya manusia (SDM) yang ada dari virus-virus berbahaya ini. Selain diberikan penguatan pemahaman kebangsaan juga merekam seluruh gerak-gerik SDM. Jika mereka terbukti melakukan penyimpangan (baca: mengadakan kegiatan dengan maksud menyebarkan virus radikalisme dan terorisme) maka ia harus mendapat sanksi. Hal ini menjadi penting, lantaran SDM (baca: dosen) dapat menggunakan profesinya untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan golongan. Di samping itu, dosen-dosen yang ada jangan sampai berafiliasi pada kelompok keras yang selalu menggaungkan aksi teror dan radikal.

Kedua, civitas akademika harus menetralisir lingkungan kampus dari segala macam bentuk kegiatan yang beraroma radikalisme dan terorisme. Di sini, civitas akademika memiliki tugas mengawasi seluruh kegiatan mahasiswa, termasuk diskusi. Karena, virus-virus kekerasan ini dapat dengan mudah disusupkan dalam diskusi dengan bungkus keagamaan. Di sini, mahasiswa juga jangan sampai ada yang berafiliasi kepada kelompok penyebar virus radikalisme dan terorisme.

Ketiga, civitas akademika meski gencar memberikan pemahaman kepada seluruh mahasiswanya akan baiknya toleransi dan buruknya tindak kekerasan. Para mahasiswa diberikan pemahaman akan upaya para penyebar virus radikalisme dan terorisme berikut tipu muslihat dengan dalih agama, menjaga NKRI, dan lain sebagainya. Tentu upaya ini sejatinya akan dapat dengan mudah dilakukan mengingat para mahasiswa pada dasarnya adalah orang-orang yang rasionis. Mereka akan dengan mudah menerima data berikut analisa yang disampaikan oleh civitas akademika. Wallahu a’lam.

This post was last modified on 22 September 2020 8:20 PM

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

3 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

3 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

3 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

3 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

21 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

21 jam ago