Editorial

Budaya Memaafkan sebagai Pondasi Perdamaian

Semua manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Meminta maaf mungkin jalan terbaik untuk proses awal memutus dan memperbaiki kesalahan. Namun, memaafkan adalah persoalan yang berbeda. Butuh jiwa besar dan lapang dada untuk memaafkan kesalahan. Apalagi kesalahan itu telah menimbulkan kerugian dan luka besar dan mendalam dalam kehidupan seseorang.

Memaafkan merupakan keputusan sadar untuk menghilangkan perasaan kebencian agar tidak larut dalam perasaan dan keinginan balas dendam. Terlepas mereka layak untuk dimaafkan atau tidak, memaafkan bukan sebuah tindakan untuk melupakan sejarah masa lalu, tetapi memaafkan merupakan pandangan optimisme untuk membangun masa depan yang lebih baik. Memaafkan bukan pula melupakan kesalahan, tetapi upaya memperbaiki keretakan hubungan untuk tidak larut dalam perasaan saling membenci. Ken Hart menyatakan bahwa memaafkan adalah proses kesembuhan dari ingatan luka, tetapi  bukan menghapuskannya.

Memaafkan secara psikologis mempunyai implikasi personal dan interpersonal yang sangat positif.  Dalam memaafkan ada proses individu berupaya mengatasi problem individual berupa kebencian dan dendam. Pada tingkat selanjutnya individu memilih sikap dan perilaku baik bahkan mengasihi pihak lain yang berbuat salah. Jadi, memaafkan mengandung pelepasan aspek negatif dalam ranah emosi, kognisi dan perilaku sosial seseorang terhadap yang lain. Dengan kata lain, memaafkan adalah strategi mengatasi hubungan yang rusak dengan dasar prososial.

Dalam aspek agama memaafkan memiliki dimensi spritual yang sangat tinggi. Dalam Islam perilaku memaafkan merupakan indikator dari ketakwaan seseorang. Sebagaiman disebutkan dalam al-Qur’an:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”  – (QS. Al-Imran: 133-134). Bahkan dalam ayat lain Tuhan menunjukkan keutamaan memaafkan melebihi sedekah secara fisik “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” – (QS. Al-Baqarah : 263).

Memaafkan merupakan pondasi dalam membangun perdamaian karena sesunguhnya perdamaian sejati berawal dari pikiran yang damai tanpa rasa benci dan dendam. Orang yang terus larut dalam perasaan kebencian dan dendam justru akan merusak pikiran dan emosinya. ia menghabiskan pikiran dan waktunya dengan menoleh ke belakang tanpa mempunyai pandangan ke depan yang lebih baik.

Bangsa ini memerlukan keberanian untuk membudayakan memaafkan. Banyak kesalahan masa lalu yang apabila didiamkan hanya menimbun kebencian dan trauma historis yang berkepanjangan. Butuh langkah berani untuk duduk bersama seluruh elemen bangsa untuk secara sadar saling memaafkan atas pelbagai persoalan.

Namun, memaafkan tidak terlepas dari adanya permintaan maaf tulus dan bukti penyesalan dari pelaku. Ketika yang membuat kesalahan menyampaikan tulus maka muncul empati yang melapangkan proses memaafkan. Memaafkan dengan demikian merupakan pintu awal dari pandangan jangka pandang terhadap masa depan, tanpa harus terpaku pada kesalahan masa lalu.

Persoalan apapun selau ditafsirkan dalam kacamata kebencian dan dendam.  Wajar karena memaafkan semakin menjadi barang langka dan mahal di negeri ini. Sedikit persoalan disirami dengan amarah dan menimbulkan percekcokan, perselisihan hingga kekerasan. Banyak fitnah, ujaran kebencian, provokasi dan hujatan yang tumbuh subur di tengah tandusnya sikap saling memaafkan.

Memaafkan bukan melupakan kesalahan, tetapi memutus siklus kebencian agar tidak mewariskan dendam kepada generasi berikutnya. Sementara itu kekerasan dan konflik mudah timbul karena perasaan dendam dan kebencian telah tertanam lama. Generasi berikutnya tidak boleh mewariskan luka dan dendam sejarah generasi yang lalu. Bangsa ini perlu membangun pondasi perdamaian yang dibangun dengan sikap berani untuk saling memaafkan.

Masyarakat yang membudayakan memaafkan akan lebih mampu bersikap postif dan selalu mempererat hubungan sosial. Memaafkan akan lebih mengutamakan jalan damai, menghargai perbedaan dan mengenyampingkan persoalan sepele demi terciptanya kerukunan. Memaafkan akan membantu bangsa ini memperkuat sikap saling percaya, kerjasama dan komitmen untuk selalu merawat perdamaian sambil membuang kebencian, dendam dan sikap saling curiga.

Redaksi

View Comments

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

7 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

7 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

9 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

9 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago