Narasi

Debat Itu Adu Argumen Bukan Adu Urat Leher

Pada mulanya, debat itu adalah upaya menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Ini lah yang dipertontonkan Socrates di masa lalu. Dulu Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Artinya, debat itu dihadirkan untuk mencari jalan pikiran dari teman debat atau melihat bagaimana pikiran seseorang memahami tema-tema tertentu yang dijadikan  bahan dalam perdebatan itu.

Mungkin banyak di antara kita yang berpikir bahwa debat itu adalah laga yang dipertontonkan untuk mencari menang kalah. Atau semacam pertandingan untuk mendapatkan pujian bagi yang menang dan cemooh bagi yang kalah. Sehingga muncul pertanyaan di benak kita, apakah debat itu hanya untuk demikian? Pertanyaan ini bisa saja saya jawab “iya” bila mengikuti keinginan masyarakat kita saat ini. Pasca debat PILPERS kemarin kebanyakan kita masyarakat Indonesia bukan malah mengambil titik-titik penting dari pikiran kedua calon akan tetapi debat yang telah usai itu justru menjadi bahan caci maki kepada kedua calon. Dampaknya, masing-masing pendukung mencari kelemahan kubu lawan untuk membuktikan bahwa calon yang mereka dukung lebih pantas ketimbang calon yang didukung kubu lain.

Pengertian debat mencari menang kalah adalah pengertian yang mendistorsi makna debat itu sendiri. Pengertian seperti ini justru mengakibatkan kondisi seseorang terganggu. Argumen-argumen pikiran tidak lagi dipergunakan ketika debat berlangsung. Kehilangan argumen ini akan di isi oleh argumen yang dikendalikan emosi. Itu lah sebabnya, kadang tidak sadar saking emosinya pendebat sudah mencaci atau menghina orang lain. Untuk menghilangkan emosi dari gelanggang debat, maka seorang pendebat setidaknya perlu memahami dua hal, yaitu, debat itu mengadu argumen, yang kedua, menghargai pendapat teman debat.

Debat Adu Argumen

Dalam berdebat sesorang sejatinya mengeluarkan jawaban-jawaban yang argumentatif. Artinya, jawaban yang argumentatif itu menyentuh sasaran pertanyaan (Habermas menyebutnya sebagai komunikatif rasional). Ketika pertanyaan itu dihadapkan kepada masalah ekonomi maka semestinya yang ditanya itu menjawab berdasarkan argumen dalam lingkup ekonomi tersebut. Bukan mutar-mutar sampai lari dari topik yang dipertanyakan. Tekhnik menjawab seperti ini adalah sesuatu yang biasa dan umum digunakan, namun dalam praktiknya, kadang yang berdebat sering lupa bahkan terbawa suasana yang pada akhirnya membawa subjektifitas dalam jawaban dan pertanyaan-pertanyaannya.

Baca juga : Debat Santun Wujudkan Masyarakat Anti Hoaks

Subjektif dalam memahami persoalan sering mempengaruhi seoseorang untuk menyerang balik penanya dengan diksi maupun narasi-narasi yang menyerang fisik, sehingga dalam kondisi yang demikian rasa sopan santun akan hilang bahkan lebih mengarah kepada caci maki. Oleh karenanya, dalam debat, seseorang terlebih dahulu mengaktifkan pikirannya tentang topik-topik yang menjadi bahan debat agar jawaban terarah dan tidak melebar.

Menghargai Pendapat Teman Debat

Menghargai pendapat teman debat maksudnya adalah tidak memaksa pendapat sendiri dan tidak menghentikannya bicara. Pendapatnya tentang sesuatu meskipun salah adalah haknya untuk mengucapkannya. Kesalahan seseorang dalam mengemukakan pendapat bisa dilawan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membawanya untuk melihat di mana letak kesalahannya. Dengan begitu, perdebatan akan mengalir dengan cair tidak kaku apalagi tegang. Karena sudah menjadi sikap manusia ketika ia salah lalu di salahkan tanpa memperlihatkan titik rasionalnya, maka respon utamanya akan membuat perlawanan. Di sinilah sikap bijak dari seorang pendebat yang bisa memperhatikan bagaiama kondisi orang yang ia debat.

Akhirnya, debat santun akan terjadi bila yang berdebat menggunakan narasi-narasi yang argumentatif tidak lari dari topik dan menguasainya. Karena patut untuk diduga, debat kusir terjadi akibat salah satu atau semua yang berdebat tidak memahami topik yang disajikan karena ketika pikiran itu kosong dari topik perdebatan maka yang mengisi narasi perdebatan adalah emosi dan perasaan .Seterusnya, debat kusir yang sering menciptakan ketegangan urat leher juga dihasilkan dari tidak menghargai lawan bicara atau kurang memahami etika diskusi.

This post was last modified on 22 Januari 2019 2:38 PM

Suheri Sahputra Rangkuti

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago