Rekonstruksi kebebasan berpikir di kampus, memang didorong kuat oleh pemerintah. Terbukti, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, meluncurkan program kampus merdeka, yang dalam pelaksanaannya mendorong civitas akademika memberi peluang yang besar kepada mahasiswanya agar saling mengkaji berbagai pemikiran yang ada, tentu, demi kemajuan Indonesia sendiri.
Sebelum Nadiem meluncurkan kebijakan kampus merdeka, memang banyak dari kampus-kampus sempat menjadi sorotan tempat berkembangnya radikalisme. Hal itu diamini oleh banyak pihak, seperti penelitian BNPT dan Setara Institute pada tahun 2018, setidaknya ada 10 kampus yang menjadi sarang radikalisme, di antaranya Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, UIN Jakarta, UIN Bandung, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh November, dan Universitas Diponegoro.
Sebelum itu, survei yang dirilis oleh Alvara Research Center pada tahun 2017 juga mengatakan hal yang sama, bahwa sebanyak 23,5% mahasiswa mendukung terbentuknya negara Islam, 29,5% mahasiswa menolak pemimpin kafir, dan 17,8% mahasiswa setuju dengan pendirian khilafah sebagaimana yang digaungkan oleh Hizbut Tahrir selama ini.
Memang, jika dilihat HTI banyak menyasar kampus-kampus dan juga birokrat-birokrat pemerintah. Taktik yang digunakan memang jitu, yaitu menarik akademisi dan orang-orang yang punya kuasa untuk mempermudah dalam mencapai tujuannya. Bahkan banyak juga pegawai negeri sipil (PNS) yang sudah terpapar virus khilafah ala HTI ini. Sungguh paradoks, PNS yang digaji pemerintah tapi malah ingin menghancurkan pemerintah sendiri.
Selang tiga tahun pasca pembubaran HTI, aktivitas kampus yang bernuansa radikalisme memang sangat berkurang, bahkan jarang. Hal tersebut bisa dilihat dari tiga kemungkinan, pertama, kampus mengawasi ketat kegiatan keagamaan mahasiswa. Kedua, aktivis keagamaan mahasiswa yang sudah tidak berani atau malah sudah pindah haluan. Ketiga, deradikalisasi di kampus-kampus telah berhasil.
Memang, kampus-kampus yang sempat menjadi sorotan BNPT itu, memberlakukan aturan yang ketat terhadap mahasiswanya. Pasalnya, jika sampai tersiar ke publik perihal mahasiswa yang radikal, maka akan mencoreng nama baik kampus. Juga dari Kemendikbud atau Kemenag dengan pasti akan menegurnya.
Sebenarnya kebijakan kampus yang terlalu ketat mengawasi mahasiswanya juga tidak sepenuhnya baik. Hal ini juga dibenarkan oleh Halili—Direktur Setara Riset Institute—dia mengatakan justru radikalisme akan cepat dan mudah berkembang di tempat-tempat yang inklusif, tempat-tempat yang jarang diskusi. Narasi radikal, dengan sedirinya akan termentahkan bila bertemu kajian pembanding.
Seringnya, modus penyebaran radikalisme di kampus dibawa oleh kelompok keagamaan yang puritan dan eksklusif, seperti kelompok Salafi, Wahabi, Hizbut Tahrir, Tarbiyah, dan Tahririyah. Isu-isu yang digaungkan biasanya tentang persepsi Islam yang ditindas oleh musuh-musuhnya, atau janji-janji kemenangan dan kesuksesan Islam jika khilafah bisa berdiri. Seringnya, kelompok ini menyasar melalui penguasaan kepengurusan lembaga dakwah kampus dan menjadi takmir masjid kampus.
Lalu, bagaimana cara deradikalisasi kampus pasca HTI dibubarkan? Sebenarnya, membicarakan deradikalisasi ini cukup sederhana. Deradikalisasi, pada intinya adalah membuka dialog dengan orang yang terpapar virus radikalisme. Kebanyakan mereka yang terkena virus ini, adalah individu yang tertutup dan jarang bergaul.
Pendampingan yang ketat terhadap unit kegiatan mahasiswa, menjadi penting dilakukan. Dengan itu, kampus bisa mengontrol sejauh mana perkembangan pemikiran dan ideologi mereka. Selain itu, semisal ada isu-isu terbaru, dari unit kegiatan mahasiswa tersebut bisa langsung menanyakan pada pihak pendamping sehingga benar-benar aman dan tidak mudah terpapar.
Kerja sama kampus dengan pihak organisasi ekstra yang secara ideologi benar-benar mendukung Pancasila seperti PMII, GMNI dan lain-lain, juga bisa menjadi alternatif. Mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi ekstra tersebut, bisa dikatakan sangat aktif dalam merespon berbagai isu. Dan dari hasil diskusi mereka, bisa mudah tersebar ke mahasiswa lain sehingga resiko terpapar radikalisme bisa terkurangi.
Pihak kampus, juga bisa menjadikan materi pembelajaran yang bernuansa nasionalisme sebagai mata kuliah wajib. Dengan seringnya berdiskusi dengan dosen, semakin membuka cakrawala pemikiran sehingga paham mana yang bernuansa doktrin radikal, mana yang mendukung, dan mana memusuhi negara.
Pelaksanaan seminar deradikalisasi di kampus kiranya juga termasuk cara yang efektif. Misal dengan mengundang narasumber yang dulunya pernah aktif di pergerakan khilafah. Sehingga, secara tak langsung bisa mengetahui tentang seluk beluk dan kelemahan paham radikalisme, serta menjadi antisipasi dan solusi agar tidak terjangkit virus radikalisme ini.
This post was last modified on 23 September 2020 4:30 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…