Kebangsaan

Deradikalisasi, Mitos atau Fakta?

Sangat sulit atau akan terkesan subyektif apabila mengukur sesuatu tanpa indikator yang jelas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Apakah berkali-kali penangkapan teroris menunjukkan kesuksesan pemberantasan terorisme atau sebaliknya menculnya aksi teror menjadi indikator kegagalan pemberantasan terorisme? Nah, beranjak pada pernyataan yang seringkali muncul bahkan menjadi doktrin kebenaran ketika aksi terorisme terjadi yang dilakukan oleh mantan teroris. Dogma sederhana itu mengatakan” kegagalan deradikalisasi”.

Pernyataan ini selalu muncul menjadi kebenaran tunggal yang diterima masyarakat tanpa penjelasan yang memadai. Artinya, kegagalan deradikalisasi ibarat mitos yang tidak bisa dibuktikan melalui indikator yang jelas kecuali dengan hanya legitimasi munculnya teror yang dilakukan oleh mantan narapidana terorisme. Apakah beberapa aksi teror yang dilakukan oleh mantan narapidana terorisme dapat dijadikan sample yang ampuh untuk mengeneralisasi kegagalan deradikalisasi?

Parameter kesuksesan dan kegagalan deradikalisasi bermacam-macam. Tidak bisa kita mengatakan deradikalisasi telah gagal total. Ada beberapa tingkatan dalam melihat output yang dihasilkan. Pertama, deradikalisasi ideologis (ideological deradiacalization), yakni seseorang menanggalkan ideologi kekerasan, tetapi secara perialku masih tidak menerima terhadap model demokrasi, keterbukaan dan lainnya. Kedua, deradikalisasi perilaku (behavioral deradicalization), dalam hal ini seseorang bisa saja terbuka untuk berkomunikasi, tetapi secara ideologis ia masih memegang teguh ajaran kekerasan. Ketiga, deradikalisasi organisasi (organizational deradicalization) yang menyasar pada pemimpin kelompok dan dapat mempengaruhi pengikutnya. Kesuksesan deradikalisasi ini sebagaimana terlihat dalam kasus deradikalisasi di Mesir.

Dari tiga level di atas ada beberapa model deradikalisasi. Deradikalisasi yang komprehensif (comprehensive deradicalization) merupakan deradikalisasi yang dapat mencapai perubahan menyeluruh dalam tiga level; ideologis, perilaku dan organisasi. Kedua, deradikalisasi subtantif (substantive deradicalization) merupakan deradikalisasi yang mencapai target perubahan ideologis dan perilaku tetapi tidak menyentuh pada organisasi karena faksi dan konfilk internal dalam kelompok radikal yang tidak mampu menyentuh pada organisasi secara keseluruhan. Ketiga, deradikalisasi pragmatis, yakni deradikalisasi yang berhasil merubah perilaku dan organisasi tetapi tidak mampu merubah ideologi, seperti kasus di Aljazair (Omar Ashour, 2009).

Di Indonesia, model deradikalisasi yang dilakukan mengarah pada deradikalisasi secara komprehensif. Karena itulah, apa yang dikembang dari deradikalisasi ini tidak hanya menyasar pada perorangan, narapidana di dalam Lapas, tetapi juga di luar Lapas yang meliputi mantan narapidana teroris, keluarga, dan jaringannya. Deradikalisasi yang komprehensif di sini dapat pula diartikan sebagai proses menyeluruh yang menyentuh seluruh aspek yang mendorong seseorang menjadi radikal.

Deradikalisasi bukan sekedar faktor keagamaan. Seorang mantan narapidana teroris secara ideologis bisa saja telah meninggalkan paham kekerasan, tetapi secara sikap ketika ia menghirup udara kebebasan ada persoalan ekonomi, isolasi sosial, kegundahan psikis dan faktor lainnya yang mendorong mereka berpeluang kembali berperilaku keras. Karena itulah, pembinaan kewirausahaan, pendampingan resosialisasi, dan pembinaan keluarga menjadi elemen penting dalam deradikalisasi sebagaimana dilakukan pemerintah.

Lalu apakah deradikalisasi di Indonesia gagal total? Mari kita simak dengan bijak untuk mematahkan mitos tersebut. Pertama kali harus kita bangun pengetahuan yang sama bahwa deradikalisasi merupakan upaya perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau keyakinan seseorang dari radikal menjadi tidak radikal dengan multi pendekatan (Barrett & Bokhari, 2009; Boucek, 2008; Abuza, 2009). Artinya proyek melakukan perubahan mental dan kognitif seseorang bukan pekerjaan mudah dan instan karena seseorang menjadi radikal pun tidak mendadak.

Karena tujuan utama merubah cara pandang dan keyakinan, deradikalisai, dengan demikian, merupakan program jangka panjang yang tidak terikat waktu. Batasan keberhasilannya adalah ketika ada perubahan sikap, pandangan dan keyakinan dari radikal menjadi tidak radikal. Sementara itu, hukuman yang dijalani pelaku teror sangat terikat oleh batasan waktu berdasarkan putusan pidana dari palu hakim. Bebasnya seseorang narapidana terorisme ditentukan oleh lama waktu tahanan, tidak pada perubahan keyakinan dan ideologinya. Idealnya memang, hukuman mampu membuat jera dan program deradikalisasi dapat menurunkan tingkat radikalisme seseorang di dalam penjara. Itulah tantangannya.

Jika harus menjawab dengan data kuantitatif maupun kualitatif, faktanya deradikalisasi manjur untuk menekan dan mengurangi aksi terorisme. Apa indikator keberhasilan tersebut?

Dalam hal ini saya hanya ingin mengurai ulasan lugas yang disampaikan oleh Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjend Pol Hamidin. Dari data kuantitatif, sejak BNPT berdiri 2010 lalu, sudah ratusan napi terorisme yang berhasil direhabilitasi dan resosialisasi ke masyarakat. Bahkan banyak sekali mantan teroris yang kini aktif membantu pemerintah dalam menjalankan program-program pencegahan terorisme baik itu melalui dakwah, diskusi dan berbagai aktivitas kemasyarakatan. Sebut saja kakak beradik Ali Imron dan Ali Fauzi. Ali Imron tersangka Bom Bali, sedangkan Ali Fauzi aktivitas Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah lama berguru di Filipina Selatan.  Selain itu, ada beberapa deretan tokoh kelompok radikal semisal Abdurrahman Ayyub (mantan Ketua JI Australia), Abu Dujana, Khaerul Ghazali, Abu Tholut, Tony Togar, Zarkasih, Sofyan Sauri, dan lain-lain. Artinya, berubahnya para tokoh kelompok radikal ini tidak pernah digemborkan sebagai keberhasilan deradikalisasi, tetapi selalu tertutupi oleh pelaku teror amatiran yang bekas narapidana terorisme.

Tidak hanya itu, Umar Patek yang kepalanya pernah dihargai Rp5 miliar oleh Amerika Serikat, kini juga sudah bertobat siap mendedikasikan sisa hidupnya untuk menjaga perdamaian di Indonesia.  Hal ini dibuktikan misalnya pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015 lalu di Lapas Porong, Sidoarjo, Umar Patek bahkan menjadi petugas pengerek bendera Merah Putih dan mengucapkan ikrar kesetiaannya.

Fakta kuantitatif di atas harus didukung pula oleh indikator kualitatif. Bayangkan di negara mana ada tokoh teroris sekaliber Ali Imron, Abu Dujana dan Zarkasih bisa diajak dialog oleh otoritas pemerintah yang mereka nilai thogut.  Faktanya lainnya bahwa secara kualitatif aksi teror dan jaringan terorisme mengalami penurunan kualitas. Dulu para teroris bisa membuat bom seberat 1.2 ton saat terjadi Bom Bali. Dulu teroris berani melakukan bom bunuh diri. Sekarang dari beberapa aksi teror di Jalan Thamrin, di Samarinda, dan di Bandung, mereka hanya bisa membuat bom dengan daya ledak rendah. Itu artinya, program deradikalisasi berhasil mengurangi tingkat radikal para teroris, sehingga nyali mereka sekarang makin ciut. Banyak pelaku bom seperti Bom Bandung dan Samarinda tidak berani melakukan aksi brutal bunuh diri. Artinya, ada pemahaman jihad mereka sudah menurun karena takut mati.

Tentu saja dari ratusan bahkan ribuan narapidana terorisme yang menjalani program deradikalisasi ada potensi kegagalan, tetapi tidak untuk mengatakan kegagalan total deradikalisasi. Apakah muncul bom Cicendo dan Samarinda menunjukkan kegagalan deradikalisasi? Sudahkah ada indikator yang jelas terkait mitos kegagalan tersebut?

Program Deradikalisasi Arab Saudi banyak dikatakan sukses dalam menekan radikalisme. Pemerintah Arab Saudi melaporkan, hampir 3.000 tahanan berpartisipasi dalam program deradikalisasi, dan sekitar 1.400 telah meninggalkan keyakinan radikal dan telah dibebaskan. Namun, sebanyak 20 persen dari mereka yang lulus melalui program ini telah kembali ke terorisme. Meskipun masih belum sempurna 100 persen program deradikalisasi Arab Saudi tetap memiliki efektifitas yang tinggi dalam upaya menangani ancaman terorisme.

Barangkali kita harus segera menyudahi mitos kegagalan deradikalisasi dengan cara memberikan penyempurnaan dan peningkatan kualitas terhadap program tersebut. Program deradikalisasi tentu masih menjadi tumpuan utama dalam menangani pelaku terorisme. secara faktual, program deradikalisasi telah menemukan titik keberhasilan yang perlu dirangkai dan ditingkatkan kualitasnya dengan inovasi dan kreasi sesuai perkembangan dan tantangan jaringan terorisme.  Tentu saja tidak bisa dibayangkan apabila ratusan narapidana terorisme hanya menjalani program rehabilitasi layaknya narapidana umum tanpa program deradikalisasi.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago