Sebagai salah satu strategi dan kebijakan yang paling sering disalahpahami, deradikalisasi merupakan satu di antara banyak program andalan pemerintah yang dikhususkan untuk membabat terorisme hingga ke akar-akarnya. Di lapangan, deradikalisasi memang kerap dipandang miring sebagai deislamisasi, yakni mengembalikan orang-orang yang dianggap sudah tidak lagi Islam agar menjadi Islam kembali. Pandangan ini –tentu saja— selain salah, juga sangat tidak mendasar.
Direktur deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Irfan Idris yang telah sejak awal memberikan klarifikasi dan penjelasan mendalam tentang makna dan spirit utama deradikalisasi di hampir seluruh sudut Indonesia kini tampak sedang mencoba mencari cara lain untuk membuat masyarakat paham betapa deradikalisasi tidak seburuk yang dibayangkan. Di awal tahun ini, guru besar di UIN Alauddin Makassar itu meluncurkan buku terbarunya dengan judul “Membumikan Deradikalisasi”.
Buku setebal 350 halaman ini merupakan bunga rampai pemikirannya terkait deradikalisasi, kontra narasi, nasionalisme dan Islam damai. Naskah untuk buku ini telah ia siapkan sejak 2016 lalu, di mana ia sangat aktif menulis isu-isu terkini terkait upaya melawan radikalisme dan terorisme dari sudut pandangnya; akademisi sekaligus direktur Deradikalisasi di BNPT.
Berbeda dengan karya-karyanya yang lain, buku ini disajikan laiknya teman ngobrol yang ringan. Ditulis dengan gaya bahasa percakapan yang akrab dan disadur dari berbagai pengalamannya selama terjun langsung membidani program deradikalisasi di negeri ini, buku ini menyajikan pemikiran dan data segar yang tentu bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengetahui ‘dapur’ deradikalisasi.
Membaca buku terbitan Daulat Press ini serasa seperti membedah pelangi; ada banyak warna yang sangat indah untuk dinikmati. Prof. Irfan, begitu ia biasa disapa, menyajikan penjelasan dan ceritanya seputar upaya deradikalisasi dalam tulisan-tulisan pendek yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tulisan sebelum dan sesudahnya, sehingga pembaca dapat menikmati buku ini dengan lebih santai, tanpa ada tuntutan untuk segera menyelesaikan pembacaan.
Dalam tulisan berjudul “Hanya Tuhan Yang Memiliki Killing List” misalnya, Prof. Irfan mengkritisi kegilaan kelompok teroris yang mengaku memiliki daftar bunuh untuk orang-orang yang mereka musuhi. Dalam tulisan yang ia ketik di Banten ini, Prof. Irfan menegaskan bahwa hanya tuhan saja yang memiliki daftar bunuh, dan hal ini tentu saja boleh dilakukan sebab tuhanlah yang menciptakan kehidupan, karenanya Ia pun memiliki hak penuh untuk mengambil ciptaan-Nya tersebut. Karenanya, ketika ada manusia yang merasa memiliki hak laiknya tuhan –dengan memiliki killing list—, ia menyebutnya sebagai manusia yang melawan kodrat, sebab tuhan tidak menciptakan manusia sebagai pembunuh, melainkan sebagai wakilnya di bumi.
Di tulisan yang lain, Prof. Irfan berbagi pengalamannya saat harus menghadapi banyaknya tuduhan miring terkait program yang dinahkodainya. Saat direktoratnya dituding sebagaian pihak memusuhi pesantren lantaran muncul pemberitaan yang menyebut pesantren sebagai tempat pencetak teroris, ia buru-buru pasang badan melalui tulisan berjudul “Membumikan Jihad Dari Pesantren”. Dengan bahasa yang lebih tegas, ia menegaskan bahwa pesantren bukanlah tempat persemaian ajaran terorisme, pesantren menurutnya, adalah model pendidikan khas Indonesia yang terbukti mampu melahirkan ulama yang intelek dan intelektual yang ulama.
Ia pun menyambung tulisan di atas dengan kisahnya saat meluncurkan program Pesantren Bersinar di beberapa pesantren di tanah air. Melalui program ini, pesantren dibantu dengan alat dan ketrampilan untuk menunjang proses belajar mengajar. Ia yakin, dengan fasilitas belajar yang baik, maka hasil belajar pun akan lebih baik. Hal ini dengan sendirinya akan menghalau masuknya paham-paham kekerasan yang mengatasnamakan agama (radikalisme dan terorisme). Atau bahkan, efektif untuk mengembalikan orang-orang yang semula radikal, menjadi tidak lagi radikal.
Sebagai teman ngobrol, buku ini jauh dari kesan menggurui. Tidak ada konsep-konsep, atau teori-teori njlimet yang dimuntahkan penulis buku dalam karya terbarunya ini. Ia tampaknya lebih fokus untuk mengajak pembaca lebih rileks dalam memahami deradikalisasi dan upaya-upaya konstruktif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mensukseskan program ini. Andai buku ini dilengkapi dengan foto-foto lapangan yang menunjukkan perjumpaannya dengan banyak orang, termasuk dengan sejumlah orang yang telah berhasil dideradikalisasi (tentu dengan berbagai penyesuaian), maka ‘obrolan’ dengan buku ini pasti akan lebih seru.
Secara garis besar, buku ini tentu layak ‘diajak ngobrol’. Pembaca tidak harus setuju dengan isi buku, namun, sebagaimana saya saksikan, penulis telah berupaya menuliskan pengetahuan dan pengalamannya secara jujur, apa adanya, dan sangat terbuka, karenanya buku ini terlalu sayang untuk dilewatkan.
This post was last modified on 31 Januari 2017 10:00 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…