Kabar pemerintah Indonesia sedang mengusahakan kepulangan sekitar 660 orang bekas WNI yang terlibat atau bergaubung bersama organisasi dan jaringan teroris Internesional, yakni ISIS (Islamic State of Iraq and Syriah).
Meskipun pemerintah, baik dari presiden hingga menteri-menterinya belum memberikan jawaban pasti—masih dalam proses pertimbangan dan kajian secara mendalam—tetapi ada beberapa elit politik, dan tokoh agama yang mendorong pemerintah untuk segera memulangkan eks WNI dari simpatisan ISIS ke Tanah Air. Memang langkah ini memberikan secercah harapan atau ada unsur kebaikan dalam inisiasi pemulangan tersebut.
Namun pemerintah Indonesia belum memutuskan apakah akan dikembalikan ke Indonesia atau jangan dikembalikan. Hingga saat ini, pemerintah masih mengkaji pemulangan eks WNI anggota ISIS dari segala aspek dan dampak serta risikonya.
Usut punya usut, eks simpatisan ISIS bisa bergabung dengan ISIS lantaran tergiur janji manis kekalifahan yang dipropagandakan ISIS via internet. Konon, banyak keluarga yang nekad meninggalkan Indonesia, bahkan ada yang rela meninggalkan pekerjaan yang relatif mapan, untuk pergi ke Suriah. Harapan mendapat pendidikan dan layanan kesehatan gratis, upah jauh lebih tinggi, dan menjalani nilai-nilai Islam secara total mendorong orang-orang untuk pergi ke Suriah, bergabung dengan ISIS. Tegas kata, mereka terbuai kemakmuran yang dijanjikan ISIS.
Namun bayangan mereka akan hidup lebih baik ketimbang di Indonesia, tak kunjung mereka dapatkan hingga akhirnya ISIS tumbang. Justru sesampainya di Raqqa, Suriah, tiap perempuan muda dipaksa untuk menjadi budak seks oleh gerilyawan ISIS. Sementara yang lelaki, langsung diminta untuk memanggul senjata dan berperang. Jika tidak mau atau memberontak, nyawa taruhannya.
Banyak cerita pilu terkait kondisi riil orang-orang yang sampai Suriah dan bergabung bersama ISIS. Diantaranya kisah Nur, sebagaimana yang diungkapkan oleh DW Indonesia. Nur dan bibinya kala itu masuk dalam daftar panjang calon pengantin yang disiapkan untuk para gerilyawan.
Surga atau Neraka?
Motif lain relawan dari berbagai negara yang berangkat ke Suriah merapat ke ISIS adalah ingin menjadi jihadis untuk mengejar ‘surga’ yang dijanjikan oleh ISIS. Namun, menurut mereka yang ditemui bukanlah surga, namun ‘neraka yang nyata’.
Kekhalifahan yang diimpikan dan dijanjikan oleh ISIS jauh dari kaidah dan nilai-nilai Islam. Bagaimana bisa mengaku memperjuangkan Islam jika laku dan gerakannya justru bertentangan dengan Islam. Sebagai contoh riil, menjadikan wanita sebagai pemuas syahwat saja; mengeksploitasi dan lain sebagainya. Adanya pemaksaan dan pembunuhan secara tidak manusiawi bukan saja bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan juga mencabik-cabik nama baik Islam itu sendiri.
Niat jihadis sebenarnya kelihatan gagah. Dikatakan demikian karena mereka seolah adalah satu-satunya orang atau kelompok yang peduli terhadap Islam sehingga ia berangkat hijrah untuk berjihad menegakkan khilafah islamiyah.
Kegagahan semakin terkesan mendalam karena mereka meyakini langkah jihad tersebut akan mendapatkan balasan surga. Liciknya kelompok jihadis seperti ISIS bisa “menjual” surga ke berbagai kelompok masyarakat. Meskipun pada akhirnya yang mereka jual tidak nyata.
Hilangnya Status Kewarganegaraan?
Selain pemulangan eks WNI dari kombotan ISIS, perdebatan selanjutnya pada tataran status kewarganegaraan eks ISIS tersebut; apakah status warga negara Indonesia masih melekat atau otomatis kewarganegaraan tersebut hilang? Ada pula yang berpendapat bahwa status kewarganegaraannya harus dicabut.
Baca Juga : WNI eks ISIS: Menjawab Dilema Keamanan dan Kemanusian
Perlu diketahui bahwa berdasarkan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ada beberapa penyebab hilangnya kewarganegaraan.Pertama, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
Kedua, tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu. Ketiga, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden.
Keempat, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut. Kelima, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional UI mengatakan bahwa eks WNI anggota ISIS sudah tidak lagi menjadi anggota warga negara Indonesia lagi karena sudah melanggar UU di atas. Terlebih ada aksi membakar paspor Indonesia. Jadi status mereka saat ini adalah hanya warga asal Indonesia yang kewarganegaraannya masih belum jelas. Maka, pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk melindungi mereka, apalagi mengembalikan mereka ke Indinesia.
Lain halnya dengan Hikmahanto, BNPT, seperti dijelaskan oleh Andhika Chrisnayudhanto menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa begitu saja mencabut status kewarganegaraan eks simpatisan ISIS. Terlebih dunia internasional tidak pernah mengakui ISIS sebagai negara, sehingga status kewarganegaraan tetap melekat dalam eks simpatisan ISIS.
Sekalipun masih terdapat perbedaan pendapat terkait status kewarganegaraan eks simpatisan ISIS, namun ada satu pelajaran penting, yaitu bahwa betapa mahalnya sebuah kewarganegaraan itu. Terbukti, eks simpatisan ISIS asal Indonesia merengek-rengek, bahkan ada yang menangis berharap belas-kasihan dari pemerintah Indonesia segera memulangkan mereka dan mengakuinya sebagai WNI. Tentu ini adalah salah satu kasus dan harus menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama yang masih memiliki niatan untuk meninggalkan Indonesia untuk bergabung dalam kelompok jaringan terorisme selain ISIS yang hingga saat ini masih eksis. Nasib kalian belum tentu lebih baik jika meninggalkan Indonesia. Justru ini semakin menegaskan betapa Indonesia adalah “rumah” paling aman dan nyaman untuk semua. Maka, jagalah kewarganegaaran kita karena begitu mahalnya.
This post was last modified on 11 Februari 2020 11:17 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…