Narasi

Estafet Jihad Suci Para Santri

Jihad suci menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah dilakukan oleh para kiai di awal kemerdekaan Indonesia. Dalam rangka menghadapi tentara Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng Sekutu, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari bersama dengan para kiai pesantren lainnya berembug untuk menjawab pertanyaan Presiden Soekarno terkait dengan hukum membela tanah air.

Pada tanggal 22 Oktober 1945, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari menyerukan resolusi jihad kepada umat muslim Indonesia dan pemerintah untuk memepertahankan kemerdekaan. Fatwa ini cukup memberikan energi dan semangat patriotisme bagi umat muslim sehingga mereka bersemangat melakukan pertempuran melawan penjajah.

Pertempuran sengit antara penjajah Belanda yang ingin menajah kembali NKRI dan rakyat Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan tak dapat dihindarkan. Bahkan, dengan semangat jihad membela tanah air, pertempuran pada tanggal 27 – 29 Oktober 1945 mampu menewaskan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Tewasnya pimpinan sekutu ini memicu pertempuran yang lebih dahsyat, yakni pada tanggal 10 November 1945.

Atas rentetan sejarah perjuangan para santri dalam mempertahankan kemerdekaan inilah, Presiden Joko Widodo membuat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang peringatan Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober. Sebagai catatan, santri bukan merujuk pada kelompok muslim tertentu, melainkan diperuntukkan bagi jiwa-jiwa yang di dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putuh dan terpancar nafas “La ilaha illa Allah” dari dalam lubuh hati.

Di era milenial, para santri memiliki lading jihad yang cukup menganga, yakni adanya “penjajah” yang keberadaannya tidak pasti namun memiliki efek bahaya yang lebih besar. Ladang jihad yang ada adalah menumpas segala bentuk rongrongan atas kelangsungan NKRI. Mutakhir banyak adu domba, fitnah, hingga ujaran kebencian yang memicu perpecahan masyarakat. Padahal, salah satu kekuatan terbesar NKRI adalah persatuan masyarakat.

Dalam pada itulah, jihad terbesar “para santri” di masa milenial adalah mempertahankan persatuan segala komponen bangsa sehingga NKRI tetap menjadi negara yang nyaman dihuni sehingga kenyamanan dalam melangsungkan kehidupan dan beribadah terus terlaksana.

Tidak mudah bagi seorang santri milenial untuk melangsungkan jihad suci ini. Mereka harus melek teknologi dan memiliki keilmuan yang mumpuni. Karena, para pembuat onar bukanlah orang bodoh yang buta teknologi. Mereka adalah orang-orang pandai dan menguasai teknologi sehingga dalam menjalankan aksi “penjajahan” dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan tidak radikal namun memiliki efek luar biasa.

Para “penjajah” telah menguasai media maya dengan membuat website serta jejaring media sosial yang apik nan massif. Konten yang disuguhkan pun cukup menarik. Publik yang menjadi konsumen media tersebut banyak yang tergiring untuk mengikuti “jalan” yang diarahkan. Karena, konten yang terdapat di dalamnya sering kali mem-frame perkara negatif sehingga terlihat positif. Tidak jarang ayat-ayat al-Qur’an atau Hadist Nabi Muhammad SAW dinukil dalam rangka menguatkan “argumentasi” yang diberikan kepada publik. Padahal, sering kali ayat ataupun hadits dipotong sehingga maknanya menjadi berbeda jika dibandingkan dengan maksud teks aslinya.

Bermula dari sinilah, umat muslim Indonesia mesti bahu-membahu, bermula dari dunia nyata saling mempererat persaudaraan, hingga di dunia maya pun tidak mudah bertikai. Mari satukan tujuan bahwa NKRI merupakan sebuah anugerah terindah bagi rakyat Indonesia yang dapat dihuni dengan segala kenyamanannya. Mari kita syukuri anugerah ini dengan cara terus melestarikannya sehingga nyaman untuk kehidupan dan nyaman untuk beribadah.

Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

23 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

2 hari ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

2 hari ago