Konflik sektarian memanas di India pada 23 Februari 2020 lalu. Konflik antara komunitas Hindu dan Muslim itu memuncak sebagai akibat kontroversi Undang Undang Citizenship Amandemet Bill (ACB) yang disahkan oleh pemerintah India.
UU tersebut sangat syarat kepentingan dan tidak hanya merugikan minoritas Muslim India, melainkan juga sebagian rakyat India karena dinilai telah merusak sendi-sendi keragaman dan persaudaraan. Pasalnya, UU tersebut berpotensi menjadikan imigram gelap asal Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan mendapatkan status kewarganeraan India, namun dikecualikan bagi yang beraga Muslim. Artinya, imigran Muslim tidak bisa menjadi warga negara India. Saat yang sama, agama selain Islam, bisa menjadi warga negara India.
Aksi protes pun tak terelakkan. Rakyat India berduyun-duyun ke tempat-tempat publik guna menyalurkan ketidak-setujuannya dengan UU tersebut yang sangat tidak fair bagi minoritas. Namun aksi protes tersebut dipolitisir dengan cara seolah dibuat bagaimana caranya agar Hindu dan Muslim saling bermusuhan. Upaya pembenturan ini pun berjalan cukup ‘sukses’ sehingga korban orang Muslim pun berjatuhan.
Artinya, ada sekelompok yang memanfaatkan UU ACB di India untuk membenturkan dengan kelompok Islam. Jelas saja upaya tersebut membuahkan hasil, hal ini terlihat dari kecamuk yang terjadi di New Delhi terhadap minoritas Muslim yang diserang dan fasilitas ibadah seperti Masjid dibakar dan dihancurkan. Konflik sektarian ini pun menjadi sejarah kelam sepanjang berdirinya India.
Berbagai provokasi seperti menguak sejarah masa lalu dimana Islam telah menaklukan beberapa wilayah di India dan juga umat Hindu kesal karena sapi sebagai hewan yang dianggap suci nan sakral, justru oleh Muslim dijadikan hewan sembelihan yang dagingnya dikomsumsi dan diperjual belikan.
Baca Juga : Indonesia Butuh Sosok Seperti Gus Dur dalam Merawat Solidaritas Kebangsaan!
Konflik sektarian yang bermuara pada agama memang terbilang konflik yang mudah untuk disulut. Bahkan karena agama pula, banyak nyawa harus bertebaran. Sejarah dunia mengkonfirmasi demikian. Sentimen agama selalu menjadi cikal-bakal peperangan. Banyak contohnya, seperti yang kita lihat hari ini di Israel dan Palestina.
Penyebab Konflik Sektarian
Konflik sektarian yang terjadi di New Delhi, India menarik untuk dikupas dari akarnya. Hal ini penting dilakukan sebagai bentuk cara kita menggali informasi atas kejadian tersebut untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi masyarakat Indonesia. Terlebih antara India dan Indonesia sejatinya memiliki banyak aspek kesamaaan, seperti sama-sama memiliki komposisi masyarakat yang beragam.
Pertama, menguatnya konservatisme dan fanatisme agama. Konservatisme dan fanatisme agama seolah menjadi tren dunia. Bagaimana tidak. Di Amerika Serikat misalnya, sebuah negara yang dikenal sebagai ‘kampiun demokrasi’ dan yang dianggap sebagai kiblat kebebasan karena di sana orang dihargai bukan karena status agama, entitas, ras, golongan dan suku serta lainnya, tetapi memandang manusia dari perspektif hak-hak dan martabat kemanusian, penyakit fanatisme dan konservatisme menyeruak di negeri ini. Seolah sudah menjadi tren global.
Di India, fanatisme dan konservatisme benar-benar sudah meletuk dan melahirkan gelombang kekerasan yang menewaskan minoritas. Arogansi dan fanatisme terhadap kelompok minoritas Muslim menjadi awal mula konflik ini mencuat. Bentrokan yang terjadi selama tiga hari berturut-turut ini mengakibatkan setidaknya 30 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Yang mencengangkan, simbol-simbol Islam diberangus.
Sebagaimana yang dikutip oleh Tirto.id, dalam sebuah video viral yang diunggah pegiat HAM India dengan akun @arjunsethi18 di medsos, seorang pemuda dengan girang dan penuh emosional nai ke atas menara masjid hingga mencabut simbol bulan bintang di sebuah masjid. Bersamanya, terlihat seorang pemuda yang mengibarkan Bendera Saffron, lambang kelompok sayang kanan Hindu India.
Kedua, pemerintah yang tidak akomodatif. Harus diakui dan disadari bahwa peran pemerintah dalam menciptakan suatu konflik sangat sentral. Begitu juga sebaliknya, peran pemerintah untuk menciptakan suasana damai dan stabil juga sentral. Dalam kasus India, penyebab utama konflik sektarian yang pecah pada 23 Februari kemarin akibat disahkannya UU CAB. Pemerintah dinilai tidak akomodatif dengan semua golongan.
Langkah pemerintah Hindia yang tidak mengakomodasi kepentingan bersama itu terlihat dari protes oleh sejumlah artis Bollywood, yang lantang mengatakan bahwa UU CAB sangat anti-Islam. Tentu bentrokan tersebut juga ada campur tangan dari sekolompok Hindu konservatis dan fanatik.
Tiga, terjadi penghasutan. Konflik agama memang paling mudah disulut adalah dengan cara menghasut, membenturkan satu kelompok dengan lainnya. Terkait peristiwa naas dan biadab di India, Hakim S. Muralidhar, seorang hakim pengadilan tinggi Delhi mengkritik tajam polisi dan meminta pihak berwenang untuk mengusut dan melakukan investigasi terhadap politisi BJP, partai pengusung Narendra Modi lantaran menghasut kekerasan.
Pelajaran Berharga
Rendra (2017) mengatakan bahwa dalam kondisi sebuah tataran yang memiliki keragaman, solidaritas antar sesasama tidak hanya sekedar diprioritaskan, melainkan lebih dari itu adalah dicamkan dan dipraktekkan dalam kehidan bernegara. Jika solidaritas ini tidak ditekankan dan menjadi gaya hidup, maka yang lahir adalah fanatisme. Jika fanatisme yang mencuat, tinggal tunggu menghitung berapa banyak konflik yang akan pecah dan menimbulkan korbannya.
Konservatisme dan fanatisme bukan berarti tidak ada di Indonesia. Justru kelompok ini masih eksis di Indonesia. Politik identitas, budaya takfiri dan lain sebagainya merupakan gejala-gejala yang nyata akan keberadaan kelompok ini.
Kita sudah melihat betapa menyedihkannya konflik yang terjadi di India. Jangan sampai hal yang sama terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, ada satu pelajaran penting yang dapat diambil atas fenomena yang terjadi di New Delhi, yakni bagaimana solidaritas kebangsaan harus diutamakan dan solidaritas agama harus ditinggalkan dalam konteks pergaulan dalam lingkup yang lebih luas.
Bahwa loyalitas, fanatik dan solidaritas pada agama masing-masing harus diutamakan adalah benar. Tetapi jangan sampai fanatik tersebut berlebihan dan solidaritas tersebut dijadikan alasan untuk menindas kelompok lain. Maka di sinilah urgensinya solidaritas kebangsaan untuk menghilangkan adanya konflik sektarian.
Aksi Solidaritas Kemanusiaan Bukan Ajang Mencaci-maki
Kejadian yang menimpa umat Islam di beberapa belahan negara mendorong umat Islam Indonesia menggelar aksi solidaritas sebagai upaya untuk mendesak pemangku kepentingan untuk segera memberikan solusi atau mengakhiri penindasan terhadap saudaranya itu.
Bahwa aksi solidaritas kemanusiaan sebagai ekspresi kepedulian sesama atas ketidak-adilan dan penindasan terhadap sesama manusia, apalagi yang memiliki identitas yang sama, merupakan sebuah kewajiban. Namun, solidaritas juga harus mempertimbangkan keadaban dan kesantunan. Jangan sampai karena diliputi oleh fanatisme agama yang berlebihan menjadikan aksi solidaritas kemanusian ambyar. Dalam artian, dijadikan sebagai ajang untuk mencaci-maki kelompok tertentu, juga bukan sebagai upaya balas dendam terhadap saudaranya yang tertindas dengan melakukan aksi teror dan kekerasan di Indonesia.
This post was last modified on 12 Maret 2020 12:22 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…