Fikih Media Massa

Fikih Media Massa

- in Narasi
4861
1

Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang berlaku sepanjang ruang dan waktu, sholihun likulli zamaanin wa makaanin. Kaidah tersebut membawa konsekuensi keyakinan berupa nilai-nilai, ajaran, dan aturan yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, begitu kira-kira. Termasuk didalamnya persoalan media massa.

Ajaran-ajaran Islam yang tersebar dalam rangkaian ayat di kitab suci maupun sabda Nabi dikodifikasi berdasarkan pendekatan metodologi tertentu. Dari sini kemudian lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan, baik dalam kategorisasi ilmu akhirat dan ilmu umum.

Salah satu cabang ilmu yang diserap dari kedua sumber utama tadi (Kitab Suci dan Sabda Nabi) adalah ilmu Fikih. Ilmu ini dapat didefenisikan sebagai ilmu yurispudensi Islam. Di sinilah agama dijabarkan dalam bentuk-bentuk hukum yang mengikat (al-Ahkam al-Syari’ah). Di sinilah aktifitas harian manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dikategorisasi menjadi boleh (mubah dan makruh), tidak boleh (haram), atau anjuran dan kewajiban (sunnah dan wajib).

Media massa menjadi salah satu aktifitas yang dikenakan al-Ahkam al-Syari’ah. Meskipun nomenklatur Fikih Media Massa tidak pernah dikenal dalam keilmuan ulama klasik. Karena media massa sebagaimana kita kenal seperti saat ini adalah fenomena yang tergolong baru, apalagi jika menyangkut media massa online. Namun, sejumlah dalil keagamaan telah menyinggung persoalan ini, meski dalam bentuk yang berbeda.

Pada dasarnya hukum dari media massa, baik selaku pengelola maupun pengguna, adalah boleh. Ini sesuai dengan kaidah ‘hukum dasar segala aktifitas adalah boleh kecuali yang diharamkan oleh dalil, al-Ashllu fi al-Asyyaai al-Ibahah illa maa harrama ‘alaihi al-Dalil. Namun, dia bisa menjadi haram setelah penggunaannya menggunakan cara-cara yang haram. Contoh dari hal ini seperti makan daging sapi –yang padasarnya halal- hasil curian. Dia menjadi haram akibat dipengaruhi faktor internal yang dalam bahasa agama dikenal dengan haraam li ghoirihi.

Dengan demikian hukum media massa yang awalnya boleh (mubah) bisa menjadi haram jika ada unsur-unsur haram yang menyertainya. Misalnya pengelolaan media massa dengan cara fitnah dan menumbuhkan kebencian di antara sesama.

Setidaknya ada dua pokok yang harus diperhatikan bagi pengelola dunia massa agar tidak terjerumus pada keharaman. Pertama, informasi yang disampaikan bukan berupa tuduhan dan fitnah. Karena itu, penyedia informasi leat media massa dituntut menyajikan fakta dan kesimpulan objektif yang memang apa adanya.

Kedua, informasi yang disajikan juga tidak boleh memuat sesuatu yang dilarang oleh agama, semisal percabulan dan kekerasan. Agama pasti dan selalul menganjurkan kebaikan. Anjuran kepada orang lain untuk melakukan kemungkaran jelas terlarang. Atas dasar itulah informasi apapun harus disajikan dengan cara-cara yang ma’ruf (baik) agar menjadi inspirasi bagi orang lain.

Dan ketiga, informasi yang disajikan harus tidak mengandung unsur yang merendahkan martabat orang lain. Dalam bahasa sekarang unsur pemberitaan tidak boleh mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Menjaga media dari unsur ketiga ini bertujuan agar informasi yang diturunkan tidak menjadi provokasi yang menimbulkan permusuhan dan kebencian.

Ketiga syarat tersebut menjadi syarat mutlak sebuah media massa. Jika dilanggar salah satunya, maka dalam penilaian agama pengelola media tersebut terjerumus pada kubangan haram. Dalam filsafat agama haram itu berarti pelakunya akan diganjar dosa atas perbuatannya, maa yu’aaqobu ‘alaa fi’lihi. Dengan demikian, jika ada media yang mengatasnamakan Islam namun berisi ‘panduan’ kekerasan, kebencian dan perendahan martabat sesama, maka dipastikan media tersebut telah keluar dari ajaran Islam. Wallahu a’lam.

Facebook Comments