Keagamaan

Haji Minus Kesalehan Sosial?

Banyak yang bilang, umat Islam Indonesia lebih greget mengerjakan ibadah haji ketimbang berzakat atau berkurban. Padahal, secara hierarkis, perilaku berzakat seharusnya lebih diutamakan ketimbang berhaji.

Kesimpulan seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ibadah haji lebih menitikberatkan pada dimensi vertikal, antara al-Khaliq dengan al-makhluq saja, bukan dimensi sosial layaknya zakat atua kurban. Jelas, zakat dan kurban sangat bernuansa sosial karena kita langsung berinteraksi dengan masyarakat. Kita dapat membayangkan sebagian di antara kita yang punya program haji tiap tahun, misalnya. Haji dilakukan berkali-kali. Barisan antrianpun kian hari kian panjang saja.

Tujuannya, apa lagi, kalau bukan untuk ibadah kepentingan pribadi. Tidak ada sejarahnya, berhaji untuk kepentingan masyarakat, misalnya supaya masyarakat menjadi makmur atau sejahtera. Bahkan, lebih jauh lagi, tak banyak yang bertujuan mengoleksi titel sosial yang sama sekali tidak membantu memerangi dan mengentaskan kemiskinan yang menyedihkan di sekitar kita. Haji dengan niatan demikian inilah yang oleh Prof. Ali Mustafa Yaqub disebut sebagai “haji pengabdi setan”.

Dalam tradisi fikih, model ibadah dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, ibadah badaniyyah, yakni ibadah yang sepenuhnya mengandalkan aspek kekuatan badan, seperti shalat dan puasa. Untuk melakukannya, kita hanya membutuhkan kekuatan fisik. Kita tidak perlu membayar upeti untuk melakukan keduanya.

Kedua, ibadah maliyah, yakni ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan sarana uang, seperti zakat dan kurban. Kita tidak memerlukan kekuatan fisik untuk melakukannya. Kita hanya membutuhkan harta (dan sebagian di antara kita yang mengerjakan haji berkali-kali pasti memiliki aspek ini).

Ketiga, ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa dilakukan kala kita memiliki kekuatan fisik dan harta, seperti ibadah haji. Dalam Alquran disebutkan bahwa untuk menunaikan haji, disyaratkan adanya istitha’ah (kemampuan), yakni istitha’ah fisik dan harta. Tanpa adanya kesatuan antara kedua hal itu, mustahil kita dapat melaksanakannya.

Bila kita cermati tiga model ibadah di atas satu per satu, kita akan menemukan kesimpulan bahwa dimensi ibadah model pertama sangat bersifat individualistik. Yakni lebih menekankan hubungan antara Sang Khalik dan sang makhluk. Apalagi dalam kasus puasa, betapa sangat pribadi model ibadah ini.

Dimensi ibadah model kedua, zakat dan kurban, jelas sekali bernuansa sosial. Sebab, dengan berzakat dan berkurban, berarti kita turut memikirkan dan mencoba mengentaskan kemiskinan atau minimal berbagi rasa kepedulian dengan golongan wong-wong alit.

Sementara itu, ibadah model ketiga, sebagaimana model pertama, juga lebih bersifat individualistik. Manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya. Orang lain tidak merasakan apa pun, kecuali nasi tumpeng, yang hakikatnya juga ditujukan hanya untuk kepentingan keselamatannya dalam menjalankan ibadah haji.

Nah, di antara tiga model ibadah di atas, manakah yang utama? Tentu ketiganya sama-sama utama. Hanya, bila kita berpikir menggunakan konsep skala prioritas, kita akan mengatakan bahwa ibadah yang berdimensi sosiallah yang paling utama. Itu tidak bisa dipungkiri.

Mengapa? Sebab, ibadah model itu, selain bernuansa sosial, juga mengandung dimensi vertikal. Mustahil kita melakukannya tanpa dilandasi unsur keimanan kepada Tuhan. Sebaliknya, nuansa sosial sulit (atau bahkan tidak dapat) ditemukan pada model ibadah vertikal, seperti shalat, puasa, maupun haji. Kalaupun ada, hal itu sebatas imbas saja, tidak terjadi secara langsung.

Dalam tradisi Ushul al-Fiqh dikatakan, al-muta’addy afdhal min al-qashir (ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya dapat kita rasakan melalui media zakat dan kurban. Syukur-syukur, idealnya, kita dapat melakukan semuanya dengan seimbang.

Karena itu, kesalehan sosial (spiritual centrifugal) sudah seharusnya kita kedepankan ketimbang kesalehan individual (spiritual centripetal). Karena itu pula, Murtadla Muthahhari, pemikir muslim terkemuka asal Iran, pernah bertanya dalam nada menggugat: “Apakah rahib-rahib atau sufi-sufi yang hanya duduk-duduk di pojok masjid seraya memutar tasbih yang akan masuk surga, padahal hal itu dilakukan hanya untuk dirinya sendiri? Sementara Thomas Alfa Edison, si jenius penemu listrik, yang hasil temuannya dimanfaatkan orang sepanjang zaman, akan masuk neraka?”

Patut kita merenungkan secara mendalam gugatan Muthahhari itu. Prinsipnya, dia menggugat tradisi keagamaan yang hanya mementingkan aspek individual, tanpa pernah menyentuh aspek sosial.

Kita ingat, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Tuhan. “Di manakah aku dapat menemukan Engkau, ya Allah?” tanya Musa. “Temukan diriku dalam diri orang-orang yang papa,” jawab-Nya. Dari situ jelas sekali bahwa kesadaran humanistis sangatlah penting dalam kehidupan kita.

Bila kita mengaitkan kenyataan di atas dengan perilaku keberagamaan kita, umat Islam Indonesia, kita patut bertanya, apa yaang terjadi dengan kita? Kenapa kita lebih mementingkan diri sendiri (individualisme) ketimbang orang lain (altruisme). Barangkali karena kita sudah sedemikian parah dininabobokan oleh simbol-simbol keagamaan yang sangat literalistik. Kita tidak pernah berpikir tentang esensi simbol-simbol itu.

Prof. Komarudin Hidayat punya tamsil sendiri tentang hal itu. Dia mengibaratkan simbol keagamaan sebagai sangkar burung, sementara esensi simbol itu sebagai burungnya. Saat ini, menurut dia, kita lebih senang mengelus-elus sangkarnya ketimbang memikirkan burungnya. Karena keenakan ngurusi sangkarnya, kita pun lupa pada isinya.

Selain itu, tampaknya kita lebih senang dilihat oleh masyarakat dalam konteks strata sosial. Kita lebih bahagia dan bangga mantasarufkan harta kita untuk mengoleksi titel-titel sosial, seperti haji, ketimbang mengoleksi kebaikan-kebaikan sosial.

Padahal, dalam sejarah, Nabi SAW hanya berhaji sekali, lainnya semata umrah. Toh, memang yang wajib hanya sekali. Atau barangkali hal ini disebabkan minat traveling kita sedemikian tinggi sehingga kerap kita mendengar istilah wisata spiritual. Istilah yang mengasyikkan, tapi sebenarnya tidak lebih dari jalan-jalan semata.

Melihat kenyataan di atas, sudah saatnya kita mengubah perilaku keagamaan kita, dari perilaku individualisme menuju altruisme. Dari simbol ke esensi. Dari sangkar ke burung. Kita harus memulainya saat ini juga. Tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Jadikan perilaku di masa lalu sebagai wahana introspeksi. Ingat, masih banyak orang-orang kecil di sekeliling kita yang sangat membutuhkan uluran tangan kita. Mereka hanya membutuhkan bantuan kita, bukan Pak Haji yang tidak sudi membantu mereka. Wa Allaj A’lam.

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

10 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

10 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

10 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

10 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago