Narasi

Haji: Pesan Toleransi dan Merajut Kebersamaan

Muktamar umat Islam sedunia bersebut haji baru saja rampung. Salah satu yang bisa dipetik dari ritus tersebut ialah rasa kesetaraan dan elan persatuan. Mereka yang datang dari belahan Afrika dengan postur tubuh tinggi berjumpa dengan jemaah haji dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang berfisik relatif kecil.  Tidak ada yang istimewa dari perjumpaan sesama anak Adam itu selain ikhtiar menyamakan derajat sesama hamba Allah Swt.

Selaras berkain ihram berwarna putih; semua jemaah dari pelbagai etnis memakai dengan ketakziman. Keseragaman ini merupakan atributif egalitarianisme sehingga identitas keberbedaan sejenak ditanggalkan guna menyulam spirit persaudaraan. Semua suku-bangsa melebur dalam putaran tawaf. Bersebelahan dan berhimpitan dengan jemaah haji Eropa dan Amerika. Semua aktivitas berhaji merunutkan bersua dengan keberbedaan orang-orang dengan pelbagai tipe dan corak; di mana saya berasal dari Asia, umpama.

Pada Tanah Suci, kita menjumpa ragam aliran fikih diterapkan oleh jemaah haji dengan khusyuk. Bila di Indonesia, jemaah haji kita kiranya menggenggam erat Fikih Syafi’i, maka di Masjidil Haram, terlalu mudah menjumpa perbedaan fikih dalam banyak ritus: berwudu, salat, hingga membaca Alquran. Bila di Indonesia, Alfatihah wajib menyertakan basmallah, namun di Tanah Hijaz, kita diseringkan dengan Alfatihah tanpanya. Jika di Indonesia, sebagian dari kita merasa kurang sreg bila jemaah salat di samping kita berbeda fikih, maka di Masjid Nabawi, semua menjadi luruh. Hampir-hampir tak menjumpa teguran dan perdebatan. Semua memafhumi dan daun toleransi mekar indah.

Penekanan pesan dari Tanah Suci tersebut cukup penting lantaran tidak sedikit perselisihan dan percekcokan yang sering terjadi di negeri ini berakar dari sekadar berbeda konsepsi fikih yang aslinya hanya ranting-cabang (furu’iyyah). Hanya gegara tidak menjalankan qunut subuh, kerap terlabeli “si dia” sebagai si liyan yang mengandaikan kita  menjadi berjarak. Bila demikian terjadi, fenomena pilu ini berpretensi mengarah pada mengendurnya spirit persaudaraan (ukhuwah). Celakanya lagi, bila sampai pada rasa bahwa fikihku lebih benar ketimbang fikihmu.

Dan, berhaji kiranya mampu memupus egoisme dan kejumawaan beragama. Wukuf di Arafah adalah penanda kala seluruh manusia penuh-seluruh berderajat sama. Dalam atributif keseragaman putih ihram, berkumpul di hamparan padang dan di bawah terik matahari yang menyengat; menyembulkan tesis tak ada kemuliaan  antara orang Arab dan selain orang Arab (‘ajam) kecuali berdasar nilai spiritualnya. Garis besar pesan berhaji inilah yang menjadikan sesama manusia dari pelbagai negara hendaknya memandang setara. Aku adalah kamu yang lain. Sehingga konsepsi ini bisa memangkas sikap-sikap pandir macam rasisme, xenophobia, superioritas etnis-kesukuan.

Perjumpaan jemaah haji kita dengan mereka yang berlainan bangsa pada awalnya terjadi shock culture atau kegagapan satu sama lain. Tapi, ketika saban hari bertemu dan berhimpitan dalam putaran tawaf dan berjejer dalam shaf shalat, sikap kikuk-gagap itu perlahan berbalik menjadi kebiasaan untuk kemudian saling senyum, saling tegur sapa sekadar berucap: “yaa hajji”, atau setidaknya menyunggingkan senyum manis. Haji/umrah sememangnya “memaksa” kita bertegur sapa dan berbincang-bincang. Meski perbedaan bahasa dan gaya komunikasi kerap menjadi kendala utama, tapi tetap, rasa saling penaruhhormatan menjadi kaidah baku. Pemandangan itulah yang penulis alami kala di Tanah Suci diajak berbincang dengan jemaah asal Pakistan, India, dan Malaysia. Kita mengharap para jemaah haji Indonesia setiba di Tanah Air mampu menyemaikan narasi persamaan ketimbang meributkan perbedaan.

Di Tanah Suci, perbedaan mazhab fikih bukan persoalan. Yang tersembul adalah aku dan kamu sama-sama mengerjakan salat. Meski aku membaca ushalli dan kamu tidak. Kita mungkin teringat tamsil laku salah satu imam Masjidil Haram, Abdurrahman Sudais, kala menjadi imam salat jumat di Masjid Istiqlal, beberapa waktu lalu. Imam Sudais tahu betul mayoritas masyarakat Indonesia menganut Fikih Syafi’i yang mensyaratkan pembacaan basmallah secara keras (jahr); dan oleh beliau senyatanya menyesuaikan. Publik lantas menaruh penghormatan. Begitu pun tamsil serupa laku Buya Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah kala dalam suatu kesempatan didapuk imam salat subuh di sebuah masjid yang jemaahnya merupakan mayoritas warga NU. Ternyata beliau merapalkan doa qunut.

Kita menyadari, tidak sedikit titik pembeda antarormas keagamaan di Indonesia lebih kepada perbedaan corak fikih. Tidak menutup mata pula perbedaan metode perhitungan kalender Hijriah  yang menyebabkan berbeda hasil dimulainya Ramadan dan Idul Fitri juga tidak jarang menjadi bahan saling gunjing dan mencela sesama umat Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, kita berharap jemaah haji Indonesia yang datang dari pelbagai ormas keagamaan, mampu menjadi pelopor di lingkungan masing-masing untuk memulai harmonisasi dan saling toleransi sebagai imbas rampung mencecap spirit berhaji.

Lebih jauh lagi, kita harapkan para jemaah haji seyogianya meluaskan jejaring toleransi dan pemaknaan ukhuwah. Di Tanah Suci, para haji pelbagai negara disatukan oleh kesamaan akidah. Dan, mereka teranggap sudah melewati tahapan itu. Maka, sekembali ke Tanah Air, cakupan toleransi dan rasa persaudaraan tidak semata hanya tertuju kepada saudara seagama lintas mazhab saja. Melainkan merembes pada merajut ikatan persaudaraan antarpemeluk agama.

Kita masygul, pada belakangan ini, polemik perihal keidentitasan –-termasuk agama dan etnis— mengemuka dan menyesakkan dada dalam diri anak bangsa Indonesia. Bila tidak lekas berhimpun dalam aras kesadaran untuk kembali merajut persatuan dalam bingkai perbedaan sebagaimana hal itu telah rampung pada 17 Agustus 1945, bisa timbul kerenggangan bahkan perpecahan.

Sekali lagi, kita berharap para haji yang mengalami langsung momen egalitarianisme ritus haji bisa turut mengambil kemudi penyemai penjaga kerukunan; baik pada kerukunan intrapemeluk agama dan antarpemeluk agama. Pondasi sebuah bangsa besar seperti Indonesia yang terdiri atas banyak agama dan suku ialah kontinuitas untuk tepa selira, saling memahami dan menghormati. Kiranya di sinilah makna mendalam dari arti kemabruran. Wallahu a’lam

This post was last modified on 29 September 2017 1:52 PM

Muhammad Itsbatun Najih

Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

22 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

22 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

22 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

22 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago