Dalam beberapa minggu ini kebhinnekaan bangsa ini sedang diuji. Gelombang menguatnya sentimentasi sekterian dan kelompok mendadak muncul kepermukaan yang seolah memberikan peringatan terhadap keutuhan bangsa ini. Masyarakat mendadak digiring pada keberpihakan dan fanatisme sempit sembari melupakan persaudaraan antar sesama bangsa.
Gelombang sentimentasi itu bukan persoalan remeh, karena beberapa kelompok telah membawa tameng agama untuk membelah antara “kami” dan “mereka”. Agama diangkat kembali menjadi identitas pembeda yang menegasikan persaudaraan sebangsa dan setanah air. Membelah warga negara berdasarkan identitas agama merupakan strategi yang nyata ingin mengusik persatuan bangsa. Faktanya, Indonesia telah mengalami pahitnya konflik yang mengatasnamakan agama.
Agama sejatinya adalah petunjuk moral dan tindakan manusia untuk menghindari kekacauan. Namun, ketika agama dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu maka wajah etik agama justru menjadi sumber bencana. Inilah yang menurut Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil (2002) bahwa ada lima hal yang bisa mengubah agama menjadi bencana, yakni klaim kebenaran mutlak, ketundukan buta, ingin mengembalikan masa keemasan, membenarkan segala cara, dan menyatakan perang suci.
Kelima faktor pemicu di atas oleh beberapa kelompok kepentingan telah dimainkan dengan narasi yang propagandis di dunia maya. Masyarakat digiring untuk mempunyai fanatisme sempit, membenarkan kekerasan atas nama agama dan menyatakan perang terhadap siapapun yang menganggu kepentingannya atas nama agama.
Dalam tulisan Dr. Suaib Tahir di jalandamai (12/11) tentang “Mencermati Dampak Arab Spring” ia dengan tegas menitipkan dua pesan penting terkait gejolak Timur Tengah yang meruntuhkan beberapa negara di kawasan tersebut. Pertama, kekuatan media sosial. Kedua, ada penunggangan kepentingan kelompok opsisi dalam aksi rakyat. Indonesia semestinya dapat belajar dari gejolak Arab Spring tersebut untuk mewaspadai dahsyatnya kekuatan media sosial dalam menguatkan sentimentasi konflik dan penanaman kebencian yang ditunggangi oleh kelompok kepentingan untuk membelah keutuhan bangsa.
Indonesia memang bukan agama negara yang secara eksplisit mendasarkan ideologi dan peraturannya pada agama tertentu. Namun, agama di Indonesia adalah ruh dan penyangga negara. Agama adalah nilai etik dan moral yang mendasari nasionalisme dan kesatuan bangsa. Dalam peran strategis agama itulah, tokoh agama atau ulama memiliki peran yang sangat krusial.
Sejalan dengan menguatnya sentimentasi berdasarkan agama, akhir-akhir ini semakin marak khususnya di dunia maya gejala dan upaya membenturkan ulama dan umara (baca pemerintah). Isu agama gencar dimainkan dalam rangka menggiring ulama dan umara dalam dua sudut yang saling berseberangan. Mereka seolah sedang ingin membenturkan ulama dan umara sehingga dapat mengambil keuntungan besar dari konflik tersebut.
Silaturrahmi Presiden Joko Widodo yang gencar beberapa waktu yang lalu ke berbagai organisasi keagamaan besar untuk bertemu dengan ulama dan tokoh-tokoh bangsa sejatinya dapat dibaca sebagai upaya memperkuat harmoni ulama dan umara. Langkah strategis tersebut harus disambut oleh semua pihak sebagai bagian penting merawat harmoni ulama dan umara untuk kesatuan Indonesia yang damai.
Hubungan harmonis antara ulama dan umara dalam sejarah bangsa juga menunjukkan adanya hubungan manis antara agama dan negara. Keduanya saling menguatkan. Bangsa ini telah menjadi saksi sejarah bagaimana ulama memberikan nasehat dan suntikan moral bagi perjuangan bangsa. Bahkan ulama telah menanamkan doktrin kecintaan terhadap negara sebagai manifestasi keimanan.
Dalam konteks semakin menguatnya sentimen bernuansa agama yang dihembuskan berbagai kelompok, umara dan ulama harus saling menguatkan untuk menjaga Indonesia damai dan berdaulat. Ulama mempunyai kewajiban menaati umara sebagai ulil amri, sementara umara wajib menghormati ulama sebagai penjaga umat. Umara adalah pelayan umat dan ulama pengayom umat. Keduanya tidak berada dalam pertentangan tetapi saling menyangga untuk kepentingan umat dan bangsa.
Kebhinnekaan bangsa ini adalah anugerah, tetapi sekaligus sebuah tantangan. Ke depan, harmoni ulama dan umara ini akan terus dibutuhkan. Rasanya akan banyak persoalan dalam dimensi apapun yang memanfaatkan sentimen agama untuk merusak kesatuan bangsa.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…