Setiap tahun, tanggal 21 Juni kita memperingati hari wafat alias haul Bung Karno. Sosok Bung Karno menjadi istimewa di hati masyarakat Indoenesia bukan hanya karena dia merupakan Bapak Revolusi dan presiden pertama Republik Indonesia.
Namun juga karena dia merupakan sosok penting di balik lahirnya Pancasila. Ia adalah penggali Pancasila. Ia memilih istilah “penggali” ketimbang “pencipta” Pancasila. Tersebab, menurutnya prinsip-prinsip Pancasila itu sudah ada dalam kebudayaan Nusantara, bahkan dunia.
Tahun ini, peringatan haul Bung Karno menginjak angka ke 53 tahun. Separuh abad lebih Bapak Revolusi itu meninggalkan alam fana. Namun, warisan pemikirannya masih abadi hingga kini. Belakangan, buku-buku yang ditulis Bunf Karno dan buku-buju tentang pemikirannya banyak dicetak dan dibaca publik luas.
Animo masyarakat untuk menggali pemikirannya tampaknya mulai meningkat. Seiring dengan tumbuhnya kesadaran bahwa konsepsi Bung Karno tentang kebangsaan, keindonesiaan, dan keislaman sangatlah revelan dengan kondisi sekarang.
Tahun Politik dan Potensi Perpecahan Bangsa
Peringatan haul Bung Karno tahun ini dirasa istimewa lantaran bertepatan dengan tahun politik jelang pesta demokrasi 2024. Galibnya tahun politik, kondisi masyarakat kita tentu diwarnai oleh beragam kontroversi dan polemik. Kontestasi politik yang sengit memang kerap menimbulkan riak-riak dalam relasi sosial-kebangsaan.
Terlebih dalam beberapa tahun belakangan, panggung politik kita diwarnai oleh praktik politik identitas dan politisasi agama yang bertendensi memecah-belah bangsa. Residu politisasi agama dan politik identitas itu antara lain mewujud pada kian runcingnya polarisasi di tengah masyarakat. Publik ini terpecah ke dalam dua kelompok besar akibat perbedaan afiliasi politik.
Di tengah situasi kebangsaan yang demikian ini, haul Bung Karno hendaknya direfleksikan secara nyata ke dalam upaya membumikan Pancasila sebagai salah satu warisan pemikiran terbesarnya. Di tahun politik ini, Pancasila lebih spesifik lagi etika Pancasila tentang politik dan demokrasi sangat relevan untuk diimplementasikan.
Pancasila memang tidak secara eksplisit menyebut sistem politik yang cocok untuk Indoenesia. Namun demikian, secara implisit Pancasila telah memberikan gambaran atau garis besar sistem politik yang relevan untuk Indoenesia.
Hal itu termaktub di dalam sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan“. Sila keempat itu sekaligus menjadi dasar untuk mengembangkan etika politik dan demokrasi di Indonesia.
Pasca Reformasi kita melihat arah perkembangan demokrasi kita mulai menjauh dari cita-cita Pancasila. Dari level pusat hingga daerah, sistem politik kita mulai mengarah pada model demokrasi liberal. Demokrasi liberal itu pun akhirnya menyisakan sejumlah residu persoalan. Antara lain munculnya fenomena politik berbiaya tinggi yang akhirnya menyuburkan praktik korupsi.
Hingga munculnya politik identitas dan politisasi agama seperti marak belakangan ini. Politik berbiaya tinggi, politisisasi agama, dan politik identitas tidak lain merupakan bukti adanya degradasi moral politik kita. Demokrasi kita hari ini hanya berjalan secara prosedural, namun abai pada aspek subtansial. Konsekuensinya politik hanya dimaknai sebagai perebutan kekuasaan.
Membumikan Etika Pancasila di Tengah Kontestasi Politik
Di tengah kondisi inilah, penting kiranya membumikan kembali spirit etika Pancasila. Yakni bagaimana berpolitik dan berdemokrasi yang bertumpu pada asas musyawarah-mufakat. Etika Pancasila dalam politik kiranya mewujud pada setidaknya empat hal. Pertama, komitmen untuk berpolitik secara santun.
Dalam artian tidak memakai fitnah dan ujaran kebencian untuk menjatuhkan lawan politik. Kampanye harus menjadi ajang kontestasi gagasan dan program, bukan justru menjadi arena tarung kebencian.
Kedua, komitmen untuk mensterilkan pesta demokrasi dari beragam narasi yang mengarah pada kontroversi, polemik, apalagi perpecahan. Pesta demokrasi harus berjalan kondusif tanpa menganggu stabilitas ekonomi dan sosial.
Ketiga, komitmen untuk tidak memakai sentimen identitas kesukuan dan keagamaan sebagai komoditas politik. Artinya, pesta demokrasi harus bebas dari praktik politik identitas dan politisasi agama.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menjadikan politik sebagai alat perjuangan untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Alias bukan semata untuk meraih kekuasaan. Politik berorientasi pada kemajuan itulah yang akan menghindarkan bangsa ini dari permusuhan dan perpecahan.
Arkian, peringatan haul Bung Karno ke-53 yang bertepatan dengan tahun politik ini kiranya bisa menjadi momentum bersama untuk membumikan etika Pancasila. Dengan begitu, tahun politik dan pesta demokrasi akan berjalan kondusif tanpa adanya potensi yang memecah-belah bangsa.
This post was last modified on 23 Juni 2023 1:16 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…