Editorial

Idul Fitri sebagai Momentum Deradikalisasi Diri

Hari raya idul fitri merupakan puncak dari latihan umat Islam dalam melakoni puasa selama sebulan di bulan Ramadan. Hari raya ini sering pula disebut hari kemenangan. Sebutan ini merujuk pada kesuksesan seorang hamba untuk menaklukkan hawa nafsu yang mengarahkan pada tindakan negatif. Selama sebulan, umat Islam dilatih untuk menahan diri, menjauhkan diri dan meninggalkan apapun pikiran, tindakan dan sikap yang dapat merusak diri dan lingkungannya. Seorang hamba yang sukses dalam menaklukkan keinginan negatif tersebut kemudian pantas mendapatkan label kembali suci (idul fitri).

Momentum idul fitri adalah peristiwa penting saat umat Islam saling memaafkan. Peristiwa memaafkan adalah tidak hanya melupakan kesalahan tetapi meleburkan kesalahan dengan menatap hari ke depan yang lebih baik. Di bulan Ramadan seorang hamba memohon ampunan kepada Allah dan di hari fitri ia menuntaskan kesucian dengan meminta maaf kepada sesama manusia.  “Mohon Maaf Lahir dan Batin” yang menjadi lumrah diucapkan di hari fitri merupakan ungkapan ketulusan permohonan maaf yang melibatkan hubungan antar manusia.

Untuk menjadi seorang yang fitri, suci dan bersih seorang hamba harus melakukan pembersihan diri. Pembersihan diri itu dilalui dengan cara menahan diri dari berbagai keinginan negatif dan hawa nafsu yang memotivasi pada tindakan negatif dan destruktif. Upaya menanggalkan tindakan negatif ini selaras dengan upaya seseorang melakukan deradikalisasi diri. Artinya, melalui latihan di bulan Ramadan, seseorang berusaha menanggalkan cara pandang radikal, sikap radikal dan tindakan radikal yang dapat merugikan diri sendiri dan lingkungan sosial.

Semangat Idul Fitri sebagai momentum deradikalisasi terletak pada upaya menghapus perasaan dendam, amarah, dengki, sombong, fanatsime dan perasaan selalu benar sendiri. Sikap-sikap tersebut seringkali menjadi daya dorong seseorang mengalami radikalisasi dalam wujud tindakan kekerasan. Rasa dendam dan amarah yang membakar dada seseorang seringkali melahirkan tindakan kalap, hilangnya akal sehat dan tidak berperikemanusiaan.

Seorang yang menapaki kemenangan dan kesuksesan meraih titel fitri di hari raya ini adalah mereka yang sukses melakukan deradikalisasi diri. Mereka adalah hamba yang sukses membuang sikap dan pandangan sempit, dendam, dengki, dan amarah dengan mengganti sikap pemaaf dan saling berbagi. Sesungguhnya, segala bentuk kekerasan dan terorisme adalah tindakan yang diawali dari pandangan sempit, dendam, dengki, dan amarah yang sama sekali tidak dibenarkan dalam agama.

Puncak deradikalisasi diri seorang hamba di hari fitri ini adalah ucapan dan tindakan memaafkan. Tidak mudah untuk memaafkan, tetapi tindakan maaf adalah jalan lebar untuk meraih perdamaian. Tidak mudah melupakan kesalahan, tetapi memaafkan adalah daya dorong seseorang untuk berpandangan optimis ke depan.

Redaksi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago