Keagamaan

Inilah 4 Dalil Larangan Politisasi Agama dalam Alquran

Agama yang semestinya mengatur keteraturan hidup manusia agar tidak saling melanggar hak satu sama lain, seringkali dijadikan legitimasi pihak-pihak tidak bertanggungjawab untuk memperoleh kekuasaan. Apalagi jelang pelaksanaan pemilu 2024, dimana para politisi saling berlomba satu sama lain untuk mendulang suara. Alih-alih saling berlomba gagasan dan membuktikan kualitas diri sebagai pemimpin bangsa, sejarah mencatat, mereka justru berlomba-lomba saling menjatuhkan satu sama lain, dan parahnya, adapula yang melakukan politisasi agama.

Agama, yang pada zaman Rasulullah Saw. digunakan sebagai alat untuk membangun negara Madinah, meletakkan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan berpolitik. Dimana politik kenegaraan dan kebangsaan dibangun dengan pondasi persatuan, justru kini dimanfaatkan untuk memecah-belah pilihan politik umat beragama.

Agama yang semestinya menjadi landasan moral-etik dalam berpolitik, justru menjelma menjadi alat untuk mendulang dukungan massa. Agama Islam misalnya, dalil-dalil Alquran banyak dipelintir oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab sebagai alat menjajakan kepentingan politik praktis. Akibatnya, polarisasi kebencian dan pecah-belah pun sengaja dicipta untuk meraup dukungan. Sungguh, penggunaan narasi agama dalam politik tersebut, sangat jauh dari penggunaan agama dalam politik di zaman Nabi Muhammad Saw. Dimana agama ialah sebagai landasan etik politik yang selalu dijunjung tinggi.

Dalam konteks tersebut, polarisasi dan politisasi agama sungguh dilarang dalam ajaran Islam. Terdapat 4 dalil mengapa politisasi agama sangat dilarang dalam Islam. Pertama, ajaran Islam sebenarnya sudah jelas menyatakan keharusan berbuat adil termasuk terhadap kelompok yang tidak disukai. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Maidah: 8, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Harus dipahami, narasi politisasi agama umumnya digunakan sebagai alat untuk menyerang lawan politik secara tidak adil (black campaign). Ini karena kontestasi politik ialah ajang untuk membuktikan kualitas negarawan yang dimiliki oleh calon pemangku jabatan publik, namun justru direduksi dengan adanya tindakan tidak adil untuk memastikan kemenangan dalam kontestasi politik. Tentu saja, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Rasulullah Saw. bahkan telah memberikan teladan bagaimana tetap berlaku adil kepada kaum kafir Quraisy, meskipun secara nyata mereka memusuhi dan mendzalimi Nabi Muhammad. Dengan prinsip keadilan yang selalu dipegang teguh oleh Rasulullahlah, pada akhirnya, Nabi Muhammad Saw. berhasil menjelma menjadi pemimpin politik yang disegani masyarakat Makkah dan Madinah, sekalipun di wilayah tersebut juga ada kaum kafir, Yahudi dan Nasrani.

Kedua, larangan komersialisasi atau manipulasi ayat al-Quran. Allah berfirman, “Dan berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa (Taurat) yang ada pada kamu, dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah, dan bertakwalah hanya kepada-Ku”. (Q.S. al-Baqarah: 41). Ayat tersebut secara jelas melarang segala bentuk penjajaan ayat al-Qur’an untuk hal-hal murah, seperti jabatan dan segala macam kemegahan dunia. Maka itu, tidak dibenarkan jualan ayat-ayat al-Qur’an atau bahkan sengaja membelokkan maksud ayat al-Qur’an dengan maksud memperoleh simpati dari pendukung.

Ketiga, larangan fitnah dan adu domba. Mengenai ini, Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Qalam ayat 10-11, “Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.” Dan, QS. Al-Lumazah ayat 1 juga menegaskan, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela”. Ayat-ayat tersebut menunjukkan betapa tidak diperbolehkannya menebar kebohongan, ujaran kebencian atau hinaan kepada siapapun. Ini karena hal tersebut justru dapat memicu permusuhan dan akan mencelakakan kita sendiri.Parahnya, justru kondisi inilah yang marak terjadi dalam penggunaan narasi keagamaan dalam politik (politisasi agama) di NKRI.

Terakhir, larangan mengolok-olok atau membenci kelompok lain. Di Alquran, larangan ini terdapat dalam QS. Al-Hujurat ayat 11 yang berarto: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Dan juga, QS. Al-An’am juga menegaskan, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” Dari sini, jelas bahwa segala macam tindakan yang bertujuan mengolok-olok atau mengina kelompok lain, atau untuk menjatuhkan sesama manusia, sama sekali tidak diperkenankan. Hanya saja, fenomena inilah yang justru marak terjadi dalam setiap kontestasi politik merebut dukungan massa.

Maka itu, menjadi keniscayaan bagi kita bersama sebagai anak bangsa untuk senantiasa berbenah diri agar NKRI senantiasa terbebas dari segala macam bentuk politisasi agama. Ingat, agama manapun tidak akan melegalkan narasi ajaran agama untuk digunakan sebagai alat saling serang dalam politik kebangsaan. Itu karena dapat memicu perpecahan dan membahayakan kemajemukan bangsa. Lagipula, Islam juga sangat jelas melarang dan mengutuk keras segala bentuk politisasi agama. Polarisasi berbasis keagamaan yang terjadi, hanya akan mengurangi sakralitas agama yang kita anut, karena tujuannya bukan lagi keteraturan dalam kehidupan dan hakikat kebahagiaan, namun justru ditujukan untuk mendapat jabatan politik semata.  Wallahu a’lam.

This post was last modified on 22 Februari 2023 12:21 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

3 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

3 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

3 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

3 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago